Selasa 15 Oct 2024 15:20 WIB

Geliat Tokoh NU-Muhammadiyah di Kabinet Sejak Awal Kemerdekaan

Keterwakilan kedua ormas Islam ini mencerminkan pengaruh mereka di perpolitikan.

Rep: Muhyiddin/ Red: A.Syalaby Ichsan
Buku pahlawan Dewi Sartika dan Wahid Hasyim yang disusun oleh IKPNI dan diterbitkan oleh Esensi, Penerbit Erlangga.
Foto: Republika/Noer Qomariah K
Buku pahlawan Dewi Sartika dan Wahid Hasyim yang disusun oleh IKPNI dan diterbitkan oleh Esensi, Penerbit Erlangga.

REPUBLIKA.CO.ID, Sejarah keterlibatan tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah dalam kabinet Indonesia sudah berlangsung sejak awal kemerdekaan. Kedua organisasi ini memiliki peran penting dalam politik dan pemerintahan Indonesia, baik di masa Orde Lama, Orde Baru, maupun Reformasi.

Keterwakilan kedua organisasi besar Islam ini mencerminkan pengaruh signifikan mereka dalam politik Indonesia. Berikut rangkuman perwakilan dari tokoh-tokoh NU dan Muhammadiyah dalam kabinet sejak awal kemerdekaan: 

Baca Juga

1. Masa awal kemerdekaan (1945–1950)

Pada masa awal kemerdekaan, perwakilan tokoh-tokoh dari NU dan Muhammadiyah mulai dilibatkan dalam pemerintahan. 

NU pada awalnya menjadi bagian dari partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), yang merupakan koalisi beberapa organisasi Islam, termasuk Muhammadiyah. 

Salah satu tokoh penting dari NU di kabinet awal adalah KH Wahid Hasyim. Ayah KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur ini ditunjuk menjadi Menteri Negara dalam Kabinet Presidensial pada 2 September 1945. Pahlawan nasional ini juga pernah menjabat sebagai Menteri Agama dalam Kabinet RIS (1949–1950), Kabinet Natsir (1950-1951) dan Kabinet Sukiman Suwirjo (1951-1952).

Selain Kiai Wahid Hasyim, pada masa ini juga ada beberapa tokoh NU yang masuk kabinet pemerintahan. Diantaranya, KH Fathurrahman Kafrawi. Di adalah Menteri Agama Indonesia kedua yang menjabat pada tahun 1946-1947.

Nama tokoh NU lainnya yang masuk kabinet pada era ini adalah KH Masjkur merupakan tokoh NU menjabat sebagai Menteri Agama pada empat periode, yaitu: Kabinet Amir Syarifuddin II (11 November 1947 sampai 29 Januari 1948), Kabinet Hatta I (29 Januari 1948 sampai 4 Agustus 1949), Kabinet Hatta II (4 Agustus 1949 sampai 20 Desember 1949), dan Kabinet Ali Sastroamijoyo (30 Juli 1953 sampai 12 Agustus 1955).

Muhammadiyah juga diwakili oleh tokoh-tokohnya dalam kabinet awal kemerdekaan. Salah satu tokoh penting Muhammadiyah yang masuk kabinet awal adalah Prof H.M. Rasjidi. Dia tercatat sebagai Menteri Agama RI pertama (Kabinet Sjahrir I & II, 1946), meneruskan tugas Kiai Wahid Hasyim di masa Kabinet Presidensial.

2. Masa Demokrasi Parlementer (1950–1959)

Pada masa demokrasi parlementer, NU memutuskan keluar dari Masyumi pada tahun 1952 dan membentuk partai politik sendiri, Partai NU. Sejak itu, keterwakilan NU dalam kabinet lebih jelas sebagai entitas politik yang independen.

Setelah memisahkan diri dari Masyumi, NU kerap mendapatkan posisi menteri, terutama di bidang keagamaan. KH Muhammad Ilyas adalah salah seorang tokoh NU yang pernah menjabat Menteri Agama dalam tiga periode. Ia menjabat di era Kabinet Burhanuddin Harahap pada 1955-1956, di era Kabinet Ali Sastroamidjojo II pada 1956-1957, serta era Kabinet Karya pada 1957-1959.

Setelah Era Kiai Muhammad Ilyas, lalu dilanjutkan oleh KH Wahib Wahab. Putra Kiai Wahab Hasbullah ini pernah menjabat sebagai Menag di era Kabinet Kerja I pada 1959-1960, dan era Kabinet Kerja II pada 1960-1962. 

Tokoh NU lainnya yang masuk kabinet pada masa demokrasi parlementer ini adalah KH Idham Chalid. Ia beberapa kali menjabat Wakil Perdana Menteri RI yaitu Wakil Perdana Menteri pada Kabinat Ali-Roem-Idham (1956-1957), Wakil Perdana Menteri pada Kabinet Djuanda (1957-1959) dan Wakil Perdana Menteri pada Kabinet Dwikora (1966).

Pada masa ini, Muhammadiyah juga tetap memiliki pengaruh, meskipun tidak membentuk partai politik sendiri. Tokoh Muhammadiyah seperti KH Fakih Usman pernah menjadi Menteri Agama dalam dua kabinet. 

Kiai kelahiran Gresik ini dipercaya Pemerintah RI untuk memimpin Departemen Agama pada masa Kabinet Halim Perdanakusumah sejak 21 Januari 1950 sampai 6 September 1950. Ia dipercaya kembali sebagai Menteri Agama pada masa Kabinet Wilopo sejak 3 April 1952 sampai 1 Agustus 1953.

Pada masa Moh. Natsir (1950), Ir Djuanda Kartawidjaja juga merupakan tokoh Muhammadiyah yang diangkat sebagai Menteri Perbuhungan, pada masa Kabinet Sukiman Suwiryo (1951) hingga Kabinet Wilopo (1952). Ia tetap menjabat Menteri Perhubungan sampai 1953.

Sjamsuddin Sutan Makmur Harahap juga merupakan tokoh Muhammadiyah yang pernah menjadi Menteri Sosial dalam Kabinet Soekiman-Suwirjo dari tanggal 27 April 1951 sampai 3 April 1952. Ia juga menjadi Menteri Penerangan pada Kabinet Burhanuddin Harahap dari tanggal 12 Agustus 1955 sampai 24 Maret 1956.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement