Selasa 19 Nov 2024 09:34 WIB

KH Faqih Usman, Menteri Agama dari Muhammadiyah

Usai menjadi menag, KH Faqih Usman juga berkhidmat sebagai ketua umum Muhammadiyah.

KH Faqih Usman
Foto: dok wiki
KH Faqih Usman

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di pengujung tahun 1949, Belanda akhirnya mengakui kedaulatan Republik Indonesia--walau berbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS). Tak memerlukan waktu lama. RIS kemudian melebur sehingga Indonesia kembali menjadi negara kesatuan.

Beberapa waktu sejak RI merdeka, sesungguhnya susunan pemerintahan sudah ada. Adapun kementerian yang khusus mengurus agama, yakni Departemen Agama RI (kini Kementerian Agama RI), terbentuk sejak 1946.

Baca Juga

Sejak pengakuan kedaulatan RI, Departemen Agama pun kembali bisa menjalankan tugasnya secara efektif. Dalam susunan Kabinet Halim pada Januari 1950, seorang tokoh Muhammadiyah, KH Faqih Usman, dipercaya memimpin departemen tersebut.

Kabinet ini mengembalikan mandat pada presiden RI pada September 1950. Sejak itu, Kiai Faqih Usman mengisi jabatan kepala jawatan agama pusat. Barulah ketika kabinet baru terbentuk, yakni dipimpin perdana menteri Wilopo, pada 3 April 1952, dirinya kembali duduk sebagai menteri agama RI.

Dinamika politik

Setelah tidak lagi menjadi menteri per tahun 1953, KH Faqih Usman menjadi anggota aktif Konstituate. Di sana, dirinya menjadi seorang wakil Partai Masyumi.

Pada 5 Juli 1959, presiden Sukarno membubarkan paksa Konstituante melalui dekrit yang didukung militer. Sejak itu, situasi politik nasional kian kemarut, terutama dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang kian mendapat angin.

Pada 1960, Bung Karno menetapkan pembubaran paksa Masyumi. Sejak itu, Kiai Faqih Usman memilih lebih banyak aktif di Muhammadiyah. Bagaimanapun, pengaruh politiknya tetap terasa di level nasional.

Pada masa KH Ahmad Badawi sebagai ketua umum PP Muhammadiyah, Kiai Faqih Usman turut berjasa dalam menguatkan internal gerakan dakwah Islam ini. Ia merumuskan suatu pedoman yang kemudian dikenal sebagai dokumen “Kepribadian Muhammadiyah." Rumusan ini diajukan pada Muktamar Muhammadiyah ke-35 tahun 1962 di Jakarta dan kemudian ditetapkan sebagai pedoman bagi seluruh warga Persyarikatan.

Memimpin Muhammadiyah

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement