REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- KH Ahmad Badawi lahir pada 5 Februari 1902 di Kampung Kauman, Yogyakarta. Dari silsilah dari garis ayahnya, ia masih keturunan Panembahan Senopati. Adapun ibunya, Nyai Siti Habibah, adalah adik kandung sang pendiri Persyarikatan Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan.
Pendidikan formal Ahmad Badawi dimulai dari Madrasah Diniyyah Muhammadiyah di daerah tempatnya dilahirkan. Bukan hanya itu, ia pun menimba ilmu di sejumlah pondok pesantren. Dari sana, dirinya mulai mengasah kepandaian berbahasa Arab.
Masa remaja Ahmad Badawi dihadapkan pada aktivitas pergerakan kebangsaan Indonesia. Saat itu banyak tumbuh organisasi atau partai pergerakan yang berusaha merekrut anggota sebanyak-banyaknya, dalam kepentingan melawan penjajahan Belanda.
Dengan pertimbangan yang cermat dan memelajari asas perjuangan berbagai organisasi politik, maka ia memantapkan diri untuk bergabung dengan persyarikatan Muhammadiyah.
Ahmad Badawi tercatat sebagai anggota Muhammadiyah pada 25 September 1927 dengan nomor baku 8543. Keanggotaan ini diperbaharui pada masa pendudukan Jepang dan bernomor 2 tertanggal 15 Februari 1944.
Begitu bergabung dengan Muhammadiyah, ia mula-mula memilih jalan dakwah dan pendidikan, yakni sebagai ustaz. Barulah pada 1933, ia dipercaya menduduki jabatan ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Kemudian, pada tahun-tahun berikutnya, ia dipercaya menjadi Kepala Madrasah Za’imat, yang dalam perkembangannya kemudian digabung dengan Madrasah Mu’alimat Muhammadiyah.
Dalam jajaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah, KH Ahmad Badawi selalu terpilih sebagai wakil ketua. Pada Muktamar ke-35 di Jakarta, ia terpilih sebagai ketua umum Muhammadiyah periode 1962-1965.
Pada Muktamar ke-36 di Bandung, ia kembali diamanahi sebagai ketua umum PP Muhammadiyah periode 1965-1968. Adapun pada masa bakti berikutnya, ia dipercaya mengisi dewan penasihat PP Muhammadiyah.
Dinamika politik