REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Zulfa Mustofa menegaskan dalam menetapkan suatu hukum, Nahdlatul Ulama (NU) selalu mendialogkan nash dengan realitas.
Praktik ini dapat ditemukan saat Nabi Muhammad SAW masih hidup dan berlanjut di era para sahabat dan tabiin, sehingga jadi pijakan NU dalam ber-istinbath ketika menetapkan hukum.
Hal ini disampaikan Kiai Zulfa saat membuka Seminar Sistem Istinbath Hukum Islam dan Bahtsul Masail, Ahad (11/8/2024) di Hotel Grand Nanggroe, Banda Aceh. Kiai Zulfa hadir bersama sejumlah fasilitator acara dari PBNU seperti KH Muhammad Cholil Nafis dan Gus Nurul Yaqin (Syuriyah PBNU) lalu KH Miftah Faqih, Muh. Silahuddin, dan A Ginanjar Sya'ban (Tanfidziyah PBNU).
Dalam pidato kuncinya, Kiai Zulfa menyampaikan bahwa penetapan hukum di dalam NU didasarkan pada dua hal, yakni nash dan realitas atau teks dengan konteks. "Dalil syari itu dua poin pentingnya, memahami hukum dari nash dan ini sifatnya naqli. Kedua harus memahami waqi (realitas) itu nadhariyah, itu harus diuji," ujar dia mengutip pandangan Imam Syathibi dalam al-Muwafaqat.
Oleh karena itu, Kiai Zulfa menekankan bahwa dalam memberikan putusan hukum tidak cukup hanya dengan memahami Alquran dan hadits sebagai rujukan atau pijakannya, tetapi juga harus memahami realitasnya. Karenanya, NU selalu mengundang ahli untuk memberikan pemahaman realitas persoalan.
"Nanti jika yang dibahas itu tentang makanan, kita mengundang juga para expert di bidangnya," ucap Kiai Zulfa. Dia pun mencontohkan dalam memutuskan hukum kepiting, misalnya, NU mengundang guru besar Institut Pertanian Bogor (IPB) yang ahli dalam bidang kepiting. Menurut dia, kepiting itu hewan air karena tidak mampu hidup di darat lebih dari 15 hari.
Sebelumnya, para ulama menganggap kepiting itu hidup di dua alam sehingga haram. "Kita tentu harus ngerti waqi (realitas). Kita cuma baca kitab yang bilang haram," ujar kiai asal Banten ini.