Ahad 11 Aug 2024 09:15 WIB

RSJ Pertama Kali Muncul dari Peradaban Islam

Peradaban Islam merintis institusi rumah sakit jiwa atau RSJ.

ILUSTRASI Perawat merapikan tempat tidur pasien gangguan jiwa di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Kalawa Atei, Pulang Pisau, Kalimantan Tengah.
Foto: ANTARA FOTO/Auliya Rahman
ILUSTRASI Perawat merapikan tempat tidur pasien gangguan jiwa di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Kalawa Atei, Pulang Pisau, Kalimantan Tengah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Islam berkontribusi besar dalam memajukan dunia psikologi. Peradaban Islamlah yang pertama memiliki rumah sakit, termasuk rumah sakit jiwa.

Prof Raghib as-Sirjani dalam buku Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia menjelaskan ratusan tahun sebelum masyarakat Eropa mengenal institusi pelayanan kesehatan mental, Dinasti Abbasiyah telah membuka rumah-rumah sakit yang khusus menangani pasien dengan gangguan kejiwaan.

Baca Juga

Pada 705 M, di Baghdad diketahui telah berdiri sebuah rumah sakit jiwa. Di sanalah, para dokter dan psikolog Muslim mengamalkan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya. Masih pada awal abad kedelapan Masehi, peradaban Islam yang bersemi di Afrika Utara pun tak kalah menakjubkannya.

Di Kota Fes, Maroko, sebuah rumah sakit jiwa didirikan. Begitu pula dengan Kota Kairo, Mesir, tepatnya pada 800 M. Setelah itu, pada tahun 1270 M, Kota Damaskus dan Aleppo (Halab), Suriah, juga mulai memiliki rumah sakit jiwa.

Sebagai perbandingan, Inggris baru mulai memiliki rumah sakit jiwa pada 1831 M. Namanya adalah Middlesex County Asylum yang berlokasi di Hanwell, sebelah barat London.

Pemerintah setempat mendirikannya setelah muncul desakan dari publik, yang mengerucut pada disepakatinya aturan Madhouse Act pada 1828.

Belajar dari sejarah, perkembangan keilmuan psikologi di Barat dan Islam pun hendaknya dijembatani satu sama lain. Dalam hal ini, Dr Syamsuddin Arif dalam artikelnya, "Psikologi Dalam Islam" (2009), menilai, masih banyak khazanah psikologi Islam yang perlu diselami dan disebarluaskan ke masyarakat.

Memang, dia mengakui, ada pelbagai kendala untuk mewujudkan upaya-upaya demikian. Sebut saja, syak wasangka terhadap dunia intelektual Islam di satu sisi yang kerap luput dipandang daripada Barat.

Kedua, dan mungkin yang lebih parah, ialah fanatisme terhadap psikologi modern (Barat). Padahal, seperti sudah dijelaskan di atas, dunia keilmuan Barat pun dilanda krisis. Terkait psikologi, terasa bahwa ilmu jiwa ini justru tidak ada (membahas) jiwa.

“Psikolog Muslim tinggal memilih, mau terus-terusan merujuk Freud, Skinner, Maslow, Ellis, dan sebagainya, atau belajar dari para ahli psikologi Islam?” tanyanya retoris.

Epistemologi yang dipakai psikologi—menurut Islam—tidak hanya mengandalkan yang empiris, tetapi juga metaempiris. Gangguan jiwa, umpamanya, tidak melulu dikaitkan dengan kondisi saraf atau otak seseorang.

Dalam pandangan Islam, apabila orang itu terlalu mencintai dunia (hubbud-dunya), maka ia bisa dikatakan sedang terganggu jiwanya. Agar menjadi normal lagi, jiwa manusia pun mesti kembali ke kondisi tenang dan tenteram, yang dapat ditempuh melalui penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement