REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dar al-‘Ilm adalah sebuah perpustakaan nan bersejarah di Mesir. Tepatnya, ia berada dalam kompleks Masjid al-Azhar, Kairo.
Mulanya al-Azhar sendiri dipelopori oleh Dinasti Fathimiyyah yang menguasai Kairo antara abad ke-10 dan 12. Sejak awal, para sultan wangsa tersebut hendak meletakkan al-Azhar dalam konteks persaingan dengan Dinasti Abbasiyah.
Bila Baghdad mampu menjadi permata peradaban umat manusia, mengapa Kairo tidak? Demikian anggapannya. Maka kunci kemenangan fastabiqul khairaat ini terletak pada peningkatan mutu perpustakaan. Sejak tahun 971, berdirilah Masjid al-Azhar sebagai pusat aktivitas keagamaan dan keilmuan.
Awalnya, nama masjid tersebut bukanlah al-Azhar, melainkan Jami’ al-Kahhirah. Institusi ini kemudian dinamakan al-Azhar agar nisbahnya sampai kepada gelar putri Rasulullah SAW, Fatimah az-Zahra. Kegiatan akademis di Masjid Al-Azhar berlangsung empat tahun sejak pendiriannya.
Kuliah perdana disampaikan Abu hasan Ali bin Muhammad bin an-Nu'man selaku kadi tertinggi Dinasti Fathimiyah kala itu. Saat masa transisi kekuasaan ke Dinasti Ayyubiyah, Universitas al-Azhar tak terlalu berkembang pesat. Ini lantaran kampus tersebut masih kuat menganut paham wangsa sebelumnya, Fathimiyah.
Universitas Al-Azhar kembali hidup di masa pemerintahan Ayyubiyah. Sebab, para sultan menyadari pentingnya eksistensi Kairo sebagai pusat pendidikan dan literasi di Dunia Islam. Mereka lantas mengundang para sarjana dari mancanegara agar bersedia datang dan mengajar di sana. Jabatan syekh atau rektor Universitas al-Azhar mulai terbentuk pada 1517. Tugasnya antara lain memberikan reputasi kepada para sarjana, guru, mufti, dan hakim.
Perpustakaan memegang fungsi yang amat penting dalam sistem pengajaran di al-Azhar, yang berupa lingkaran studi di dalam masjid (halaqah), diskusi-diskusi (niqasy), dan dialog (hiwar). Nama perpustakaannya adalah Dar al-‘Ilm.
Fasilitas ini termasuk dalam kompleks istana kerajaan yang luasnya mencapai setengah kota tua Kairo. Penyelenggaraan Dar al-‘Ilm sesungguhnya telah berlangsung sejak era Khalifah al-Hakim dari Dinasti Fathimiyyah. Dia pula yang merintis kegiatan donasi, yang berupa ribuan buku dari rumah pribadinya untuk Dar al-‘Ilm.
Perpustakaan Dar al-'Ilm terbuka bagi umum. Katalog bertahun 435 hijriah (1045 M) menunjukkan, fasilitas literasi tersebut mengoleksi sebanyak 6.500 buku bertema astronomi, arsitektur, dan filsafat. Pada zaman pemerintahan Al-Muntasir (1036–1094), perkembangannya mulai begitu pesat.
Ketika Dinasti Fathimiyyah runtuh, penggantinya hendak menjual semua warisan penguasa terdahulu itu, termasuk buku-buku di Dar al-‘Ilm. Beruntung, al-Fadhil al-Basyani berhasil menyelamatkan banyak koleksi dari perpustakaan itu. Kadi Dinasti Ayyubiyah itu sampai-sampai mesti membeli kembali buku-buku yang sempat terjual di pasaran.
Semua upaya itu dilakukannya lantaran rasa cinta terhadap dunia literasi. Selain itu, al-Basyani juga berjasa menyumbang sekitar 100 ribu buku ke pelbagai madrasah Al-Fadhiliyah yang didirikannya. Pencinta buku lainnya di Kairo adalah Abdus Salam al-Qazwni. Koleksi pribadinya mencapai 40 ribu buku, yang di antaranya merupakan hasil pembeliannya dari istana Dinasti Fathimiyyah. Bahkan, sumber Abu Shama menyebut jumlah koleksinya mencapai dua juta buku!