Rabu 07 Aug 2024 17:44 WIB

Doa Pamungkas Ibnu Athaillah di Al-Hikam

Doa pamungkas Ibnu Athaillah wujud dari kebersihan hati.

ILUSTRASI Doa pamungkas Ibnu Athaillah di Al-Hikam
Foto: pexels
ILUSTRASI Doa pamungkas Ibnu Athaillah di Al-Hikam

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Syekh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim bin Atha'illah al-Jadzami al-Maliki as-Sakandari adalah seorang ulama besar dari Mesir. Ia lebih masyhur dengan sebutan Doa Pamungkas Ibnu Athaillah di Mahakaryanya al-HikamJulukan as-Sakandari merujuk kota kelahirannya itu, yakni Iskandariah atau Alexandria, yang terletak tidak jauh dari Kairo.

Salah satu karyanya yang sangat fenomenal adalah kitab Al-Hikam. Ini begitu populer di dunia Islam bahkan hingga saat ini.

Baca Juga

Al-Hikam pada awalnya merupakan hasil pendiktean (imla’) yang dilakukan Ibnu ‘Atha’illah kepada salah seorang muridnya, Taqiyyuddin as-Subki (w 756 Hijriyah), yang juga bermazhab Syafii.

Belakangan, Ahmad Zarruq (wafat 899 Hijriyah), seorang guru Tarekat Syadziliyah, menemukan hasil dikte ini dari seorang pakar hukum bermazhab Syafii, Syamsuddin as-Sakhawi pada 876 H di Kairo. Sanad atas Al-Hikam telah ada sejak di tangan Taqiyyuddin as-Subki.

Ahmad Zarruq sendiri sudah menulis 30 syarah atas Al-Hikam. Kitab ini diduga ditulis pertama ketika Ibnu ‘Atha’illah masih berguru pada Syekh Abu al-Abbas al-Mursi pada 674 hijriah.

Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa Al-Hikam ditulis dalam masa 12 tahun. Kata hikam merupakan bentuk jamak dari kata bahasa Arab, hikmah yang bermakna ‘bijaksana.’

Victor Danner dalam buku Mistisisme Ibnu ‘Atha’illah menjelaskan, Al-Hikam disusun dalam tiga bagian pokok, yakni aforisme, risalah, dan doa. Ada 262 aforisme dan 25 bab dalam keseluruhan Al-Hikam.

Kendati begitu, dalam bentuk awalnya Al-Hikam tidak tersusun ke dalam bab-bab. Para murid Ibnu ‘Atha’illah kemudian yang merasa perlu merapikannya. Tema dasar Al-Hikam adalah makrifat dan tauhid, yaitu bahwa Allah adalah Zat yang al-Haq.

Kitab Al-Hikam diakhiri dengan untaian doa yang sangat puitis pula. Ibnu ‘Atha’illah memandang munajat sebagai momentum yang urgen dalam membangun hubungan hablum minaallah.

Kuncinya adalah tersingkirnya kesombongan dalam kalbu manusia. Sebab, rasa cinta Tuhan hanya bisa diperoleh melalui sikap berserah diri secara utuh tanpa paksaan, tanpa pura-pura.

Tuhanku. Betapa lembut Engkau padaku meski besarnya kebodohanku. Tuhanku. Betapa kasih Engkau padaku meski buruknya perbuatanku. Tuhanku. Betapa dekat Engkau padaku dan betapa jauh aku dari-Mu.”

Tuhanku. Apakah yang bisa ditemukan oleh seseorang yang kehilangan-Mu? Dan apakah yang bisa hilang dari seseorang yang menemukan-Mu?

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement