REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ilmu pengetahuan sangat menentukan kesuksesan dan kebahagiaan seseorang. Dengan ilmu, harkat dan martabat seseorang bisa terangkat. (QS al-Mujadilah [58]: 11). Dan, dengan ilmu pula seseorang mudah melakukan perubahan hidupnya ke arah yang lebih baik. Rasulullah SAW pun menegaskan bahwa ilmu menjadi syarat utama untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Hanya saja, tidak semua orang yang telah memperoleh ilmu mampu memeliharanya. Akibatnya, ia termasuk kepada kelompok orang-orang yang lupa (ghafilun). Lupa yang dimaksud bisa dalam dua hal. Pertama, lupa dalam bentuk ingatan sehingga apa yang telah ia ketahui dan pelajari tidak mampu ia kemukakan. Lupa jenis kedua adalah dalam bentuk perilaku, yaitu tidak sesuai antara apa yang ia ketahui dengan yang dilakukan.
Kedua bentuk lupa tersebut diakibatkan oleh tidak terpeliharanya ilmu sehingga ilmunya tidak memperoleh keberkahan. Karena itu, perlu dilakukan berbagai upaya agar ilmu itu tetap terpelihara dan menjadi sikap batin yang memengaruhi perbuatan seseorang.
Rasulullah SAW mengemukakan lima kiat agar ilmu tetap terpelihara. Pertama, shalat malam walau hanya dua rakaat. Udara di malam hari sangat segar dan baik untuk kesehatan. Ketika seseorang sujud di waktu tahajud, maka darah yang mengandung oksigen dari udara yang segar itu akan mengalir ke sel-sel syaraf otak. Hal ini akan berdampak positif terhadap kecerdasan otak itu sendiri. Kalbu pun memperoleh ketenangan dan terhindar dari penyakit-penyakit hati.
Kedua, senantiasa dalam keadaan berwudhu (dawamul wudhu'). Setiap kali wudhu batal, maka ia segera memperbaharuinya. Intinya, ia selalu memelihara kesucian dirinya, baik secara lahiriah maupun batiniah. Imam Syafii berkata, "Aku mengeluh kepada guruku (Imam Waqi) akan jeleknya hafalanku, maka guruku menasihati untuk meninggalkan maksiat. Karena sesungguhnya, ilmu itu adalah cahaya Allah dan cahaya itu tidak akan diberikan kepada orang yang bermaksiat."
Ketiga, senantiasa bertakwa, baik dalam keadaan terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi (at-taqwa fissirri wal 'alaniyah). Takwa berarti tidak bermaksiat sehingga menutup hidayah Allah. Keempat, memakan makanan yang bernilai takwa, bukan memenuhi keinginan syahwat (an ya'kula littaqwa la lisysyahawat). Makanan yang bernilai takwa adalah makanan yang halal lagi baik (halalan tayyiban).
Imam al-Ghazali mengatakan, sesuap makanan yang haram dikonsumsi seseorang akan menjadi darah yang mengalir ke otaknya sehingga otaknya cenderung berpikir pada hal-hal yang diharamkan. Akibatnya, ilmu yang merupakan cahaya Allah (nur Allah) akan terhijab karena haramnya makanan tersebut. Sebaliknya, jika makanan itu tidak bergizi, maka daya tahan tubuhnya akan mudah terserang penyakit.
Kelima, bersiwak untuk menjaga kebersihan mulut. Siwak ini tidak hanya sebatas pengertian fisik membersihkan gigi, tetapi juga menjaga kebersihan lidah untuk selalu berkata jujur, tidak bohong, dan tidak berkata kotor. Dengan kelima kiat tersebut, insya Allah, ilmu yang ada akan terpelihara dengan baik.