REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Para pemimpin Muslim mengecam negara-negara Barat atas pembakaran Alquran, dalam pidato yang berlangsung di PBB, Selasa (19/9/2013). Mereka juga mengecam tindakan melindungi otoritasnya, yang diklaim sebagai bentuk kebebasan berpendapat atas tindakan yang diskriminatif.
Swedia merupakan salah satu negara yang telah menyaksikan serangkaian pembakaran kitab suci Islam itu. Pemerintahnya menyuarakan kecaman, tetapi mengatakan tidak dapat menghentikan tindakan yang dilindungi undang-undang kebebasan berekspresi.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengambil sikap dan telah memberikan tekanan selama berbulan-bulan pada Swedia, atas penerimaan aktivis Kurdi yang dianggap Turki sebagai teroris. Ia mengatakan negara-negara Barat sedang mengalami wabah rasisme termasuk Islamofobia.
"Ini telah mencapai tingkat yang tidak dapat ditoleransi. Sayangnya, politikus populis di banyak negara terus bermain api dengan mendorong tren berbahaya tersebut," ujar dia kepada Majelis Umum PBB, dikutip di France 24, Rabu (20/9/2023).
Erdogan lantas menyebut mentalitas yang mendorong serangan keji terhadap Alquran di Eropa, dengan membiarkannya berkedok kebebasan berekspresi, pada dasarnya menggelapkan masa depan Eropa melalui tangan mereka sendiri.
Seperti yang diketahui, aksi protes di Swedia yang melibatkan pembakaran Alquran diorganisasi oleh pengungsi Salwan Momika, telah memicu kemarahan di Timur Tengah termasuk negara asalnya, Irak.
Pada bulan Juli lalu, Erdogan bahkan mengatakan ia akan mencabut blokade terhadap upaya Swedia untuk bergabung dengan NATO. Namun, parlemen Turki masih belum meratifikasi keanggotaan negara tersebut.
Presiden Iran, Ebrahim Raisi, seorang ulama yang mewakili negara teokratis Syiah, juga membahas isu soal Alquran dalam pertemuan PBB ini. "Api rasa tidak hormat tidak akan mengalahkan kebenaran ilahi,” kata Raisi.
Kebebasan berpendapat Barat...