Rabu 22 Feb 2023 15:51 WIB

Pembubaran Peribadahan Dinilai Bentuk Pembangkangan atas Arahan Presiden

Di awal tahun 2023, terjadi beberapa penolakan peribadatan di sejumlah daerah.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Muhammad Hafil
Pembubaran Peribadahan Dinilai Bentuk Pembangkangan atas Arahan Presiden. Foto:Toleransi (ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi
Pembubaran Peribadahan Dinilai Bentuk Pembangkangan atas Arahan Presiden. Foto:Toleransi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- SETARA Institute menyampaikan, gangguan atas peribadatan kelompok minoritas kembali terjadi. Jemaat Gereja Kristen Kemah Daud (GKKD) di Bandar Lampung dibubarkan saat sedang beribadah di dalam gereja pada Ahad (19/2/2023). Aktor pembubaran adalah perangkat RT dan sejumlah warga setempat.

Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan, mengatakan, peristiwa menyedihkan tersebut menandai berlanjutnya eskalasi gangguan dan penolakan atas peribadatan dan pendirian rumah ibadah. Sebelumnya, di awal tahun 2023, terjadi beberapa gangguan, penolakan, pembubaran peribadatan di sejumlah daerah.

Baca Juga

Di antaranya penyesatan dan pelarangan aktivitas keagamaan Ahmadiyah oleh Forkopimda Sintang di Kalimantan Barat. Penolakan dan pembubaran ibadah dialami Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Metland Cilengsi di Bogor. Pelarangan beribadah Gereja Protestan Injili Nusantara (GPIN) Filadelfia di Bandar Lampung. Pelarangan pembangunan sarana peribadatan Ahmadiyah di Parakansalak berdasarkan kesepakatan Bupati dan Forkopimda di Sukabumi.  

"Padahal, belum lama ini, dalam Rakornas Kepala Daerah dan Forkopimda pada 17 Januari 2023 di Kabupaten Bogor, Presiden Jokowi mewanti-wanti peserta Rakornas untuk menjamin kebebasan beribadah dan beragama warganya. Presiden Jokowi menegaskan bahwa kebebasan tersebut dijamin oleh UUD 1945, khususnya Pasal 29 Ayat (2). Terjadinya eskalasi di beberapa daerah tersebut merupakan bentuk pembangkangan atas arahan presiden," kata Halili melalui pesan tertulis kepada Republika, Rabu (22/2/2023)

Ia menyampaikan, berkaitan dengan dinamika terbaru pelanggaran atas kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB), khususnya kasus GKKD, SETARA Institute menyampaikan beberapa pernyataan berikut.

Ia mengatakan, pertama, SETARA Institute mengecam keras terjadinya kasus pembubaran peribadatan di GKKD Bandar Lampung. Gangguan dan pembubaran atas peribadatan, yang dijamin oleh konstitusi, tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun.

"Kedua, dalam konteks kasus GKKD, SETARA Institute mengapresiasi pihak kepolisian, khususnya Polresta Bandar Lampung, yang memberikan jaminan keamanan juga Pemda yang memberikan izin sementara selama dua tahun kepada GKKD Bandar Lampung, sambil mengurus perizinan pendirian rumah ibadah," ujar Halili.

Halili menambahkan, langkah akomodatif dan fasilitatif semacam itu perlu direplikasi di berbagai kasus penolakan rumah ibadah, peribadatan, dan sarana peribadatan di daerah lain, seperti di Kabupaten Bogor, Kota Cilegon, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Sintang, Kota Depok, dan lain sebagainya.

Ia mengatakan, yang ketiga, pemerintah pusat hendaknya melakukan langkah progresif untuk membuktikan bahwa pemerintah memiliki komitmen dan kewibawaan dalam menegakkan jaminan hak konstitusional warga negara atas kebebasan beragama atau berkeyakinan dan kebebasan untuk beribadah.

Di antaranya dengan revisi PBM dua menteri, khususnya dengan mencabut syarat administratif dukungan 90 orang jemaat dan 60 orang di luar jemaat. Perubahan paradigma pengaturan peribadatan dan pendirian rumah ibadah dari pembatasan ke fasilitasi. Pergeseran peran FKUB ke perwujudan dan pemeliharaan kerukunan dengan memperluas fungsi-fungsi kampanye toleransi, penyediaan ruang-ruang perjumpaan lintas agama, serta mitigasi dan resolusi konflik yang mengganggu kerukunan antar agama, termasuk mediasi dan resolusi jika terjadi kasus penolakan peribadatan dan pendirian tempat dan rumah ibadah.

"Keempat, SETARA Institute mendesak pemerintah agar segera menarik perizinan pendirian tempat ibadah atau rumah ibadah menjadi kewenangan pemerintah pusat, dengan mekanisme yang dipermudah dan disederhanakan, di Kementerian Agama, sebab urusan agama merupakan kewenangan absolut pemerintah pusat dan tidak didesentralisasikan sebagai urusan pemerintahan daerah," jelas Halili.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement