Jumat 02 Jul 2021 00:54 WIB

Jilbab dan Polemik Feminisme di Australia

Kesetaraan perempuan telah menjadi bagian dari Islam sejak awal.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Agung Sasongko
Beberapa Muslimah yang tinggal di Australia.
Foto:

Ketika berbicara tentang pemakaian jilbabnya sendiri, Jasmine mengatakan keputusan itu didasarkan pada keyakinan dan sikap feminisnya. "Saya tidak ingin didikte oleh struktur mode yang sebagian besar dijalankan oleh pria. Sebaliknya, saya berpakaian dengan cara yang selaras dengan nilai-nilai pribadi saya tentang apa yang harus dipakai atau apa yang tidak boleh dipakai," ujar Jasmine.

Meskipun Jasmine percaya feminisme berjalan seiring dengan agamanya, dia sadar bahwa beberapa wanita Muslim merasa dikucilkan dari gerakan tersebut.

"Bukannya orang akan selalu mempermasalahkan feminisme sebagai keyakinan, orang percaya pada kesetaraan sosial, politik dan ekonomi dari jenis kelamin, yang itu berasal dari ide feminisme Barat ini," jelasnya. 

Jasmine menganggap dirinya beruntung dibesarkan di era feminisme gelombang keempat, yang mengakui interseksionalitas. Ini adalah istilah yang pertama kali digunakan profesor AS Kimberlé Crenshaw pada tahun 1989 untuk menggambarkan bagaimana ras, kelas, jenis kelamin, dan faktor sosial atau budaya lainnya beririsan satu sama lain, dan menghasilkan hak istimewa atau diskriminasi.

Terlepas dari pergeseran sosial ini, penulis dan peneliti Shakira Hussein bertanya-tanya apakah gerakan feminis telah berjalan cukup jauh. Banyak wanita Muslim tidak nyaman dengan kata feminisme karena mereka paling sering mendengarnya ketika mereka diberitahu bahwa Muslim memperlakukan wanita dengan buruk.

"Dan mereka tidak melihat agama mereka dalam istilah itu. Di sisi lain, mereka tidak percaya pada perlakuan buruk terhadap wanita, dan mereka siap untuk berjuang keras melawannya," tuturnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement