REPUBLIKA.CO.ID, “Bacalah Alquran dengan sura lirih. Renungi maknanya dengan hati sedih. Shalat malam adalah adalah jalan membaca Alquran. Lalui dan telusuri jalan itu dengan pemahaman,” begitulah pesan sufistik dari salah satu bait dalam Kasidah Munfarijah gubahan seorang sufi asal Tunisia, bernama Ibn Nahwi yang wafat pada 1119 Masehi.
Kasidah ini merupakan salah satu amalan rutin yang sering dibacakan di Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah, Sukorejo Situbondo. Santri Sukorejo biasanya melantunkan kasidah ini setiap bakda Subuh dan santri kerap menyebutnya “Istaddiyan”.
Salah satu santri Salafiyah Syafiiyah dan dosen Ma’had Aly Situbondo, Abd Wahid kemudian melakukan kajian secara mendalam terhadap kasidah tersebut. Hasil penelitiannya dituangkan dalam buku berjudul “Selama Datang Gundah!: Anotasi Kasidah Munfarijah" ini.
Dalam bab tentang Alquran dan Salat Malam, Wahid menjelaskan bahwa Alquran adalah mukjizat yang abadi dan dapat dinikmati oleh semua generasi umat Nabi Muhammad. Ketika membaca Alquran, meskipun tidak mengerti maksudnya tetap dinilai sebagai suatu ibadah.
Sementara, yang konsisten dan mahir membacanya akan dikumpulkan dengan para rasul, bahkan yang kagok membacanya akan memperoleh dua pahala, yaitu pahal membaca Alquran dan pahala karena telah mau bersusah payah membacanya.
Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan Abi Nu’aim dalam kitab “al-Musnad al-Mustakhraj ala Sahih Muslim” yang berbunyi: “Yang mahir dalam Alquran (dikumpulkan) bersama para utusan mulia yang berbakti. Yang gagap dalam membacanya dan amat kesulitan, dia mendapat dua pahala.”
Lebih lanjut, Wahid menjelaskan anugerah Tuhan yang tak terhingga. Bait tersebut memiliki arti, “Anugerah Terindah tak terhitung jemari tangan. Itu untuk ketentraman jiwa dan kebahagiaan”.
Menurut Wahid, makna leksikal baris puisi tersebut adalah “Anugerah Tuhan tak terhitung jemari tangan, itu untuk jiwa dan ruh yang mencari rumput”.
Wahid pun menyamakan jiwa dan ruh tersebut dengan binatang ternak yang memerlukan makanan untuk bertahan hidup.
Wahid menjelaskan, makanan jiwa dan ruh adalah apa saja yang membuatnya damai, tentram, dan tenang. Hal itu berupa ilmu pengetahuan dan kesadaran pada Sang Pencipta.
Menurut dia, jiwa yang lapar adalah jiwa yang tidak tersentuh kandungan kitab suci dan buku-buku pengetahuan, sedangkan ruh yang dahaga adalah ruh yang tidak disiram oleh kesadaran kepada pencipta-Nya.
.