Kamis 03 Oct 2019 10:12 WIB

Sejarah Legislasi Hukum Islam Melalui Tarikh Tasyri

Inilah sepenggal sejarah lebislasi hukum Islam.

Rep: Ali Yusuf/ Red: Muhammad Subarkah
Salah satu kegiatan keseharian budaya Arab
Foto:

Penetapan Hukum Pada Zaman Nabi

Tasyri atau Syariat pada masa Nabi ditetapkan dengan dua cara. Pertama, wahyu yang datang dari Allah secara maknawi dan lafzhi berupa Alquran yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad. Kedua wahyu dari Allah secara maknawai bukan lafzhi, yang berupa sunah-sunah Rasulullah. Sesungguhnya lafal hadits-hadits Nabi berasal dari Nabi sendiri, sedangkan maknanya bersumber dari Allah seperti ditegaskan Allah dalam surah An-Najm ayat 3-4.

"Dan tiadalah yang diucapkannya itu Alquran menurut kemauan hawa nafsunya ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya," katanya.

Jadi hanya Allah saja yang memiliki hak untuk menetapkan syariat, sementara nabi bertugas untuk menjalankan syariat tersebut seperti ditegaskan Allah dalam surat An-Nahl ayat 44.  "Dan kami turunkan kepadamu Alquran agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka."

Tidak ada syariat yang berlaku kecuali apa yang telah ditetapkan oleh Allah ataupun Rasulullah. Karena syariat Islam memiliki dua pokok sumber hukum yaitu Alquran dan Sunnah, maka penetapan syariat pun berakhir dengan wafatnya Nabi.  Ar-Raghib berkata dalam kitab Al-Mufradat, kata Alquran pada dasarnya adalah masdar yang memiliki kesamaan shighah dengan kata kufran dan rujhan. Kata Alquran menjadi nama khusus untuk kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad sebagaimana Taurat adalah nama kitab yang diturunkan kepada Musa dan Injil merupakan nama kitab yang diturunkan kepada Isa.

Alquran mencakup seluruh kandungan kitab kitab selainnya,  bahkan ia mencakup seluruh cabang ilmu pengetahuan sebagaimana Allah telah mengisyaratkan hal ini dalam beberapa  surah di antaranya surah Yusuf ayat 111. "Dan menjelaskan segala sesuatu,". Surah An-Nahl ayat 89 "Untuk menjelaskan segala sesuatu." Dan Az-Zumar ayat 28 "Ialah Alquran dalam bahasa Arab yang tidak ada kebengkokan di dalamnya."

Arti Alquran secara bahasa adalah mengumpulkan dan menyatukan Mashdar dari kata ini menjadi nama khusus untuk Kitab yang mulia. Adapun pengertian Alquran secara istilah adalah perkataan Allah yang diturunkan kepada Muhammad yang sampai kepada kita secara Mutawatir.

"Membaca isinya dan mengamalkan kandungan hukum-hukumnya merupakan bentuk ibadah kepada Allah dan Ia merupakan bukti kuat atas kebenaran Risalah Nabi," kata Manna.

Akidah menjadi penetapan hukum pertama di Makkah yang merupakan esensi syariat nabi yang diutus oleh Allah, dan merupakan asas di mana tiang tiang agama tegak di atasnya.  Manusia tidak akan menerima Syariat yang Allah tetapkan kecuali jika akidah mereka lurus, dan mereka beriman kepada Allah serta mengaku keesaan-nya dalam uluhiyah, rububiyah dan nama-nama atau sifat-sifat Allah.

Apabila akidah tertanam kuat dalam jiwa masyarakat, maka akan mudah dalam membangun masyarakat yang berpegang teguh dengan syariat dalam mengatur hubungan mereka dengan Allah, dengan sesama mereka, serta dengan alasan semesta. Oleh sebab itu akidah merupakan tujuan utama ajakan para rasul kepada umatnya seperti diabadikan dalam surah Al-Anbiya ayat 25.

"Dan kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu melainkan kami wahyukan kepadanya bahwa hanya tidak ada Ilah yang hak untuk disembah melainkan Aku maka sembahlah Aku,"

 

Penetap Hukum di Makkah

Penetapan hukum pada fase Makkah yang berjalan selama kurang lebih 13 tahun fokus pada pembinaan akidah, memperkuat akar-akarnya, dan menjaga kemurniannya. Islam menjadikan dua kalimat syahadat sebagai realisasi dari aqidah sebagai pintu masuknya seseorang ke dalam pelukan Islam yang kemudian diberlakukan baginya hukum-hukum Islam.

Dalam upaya kepada akidah Islam bersandar pada argumen argumen logis. Caranya adalah dengan mengajak manusia untuk memikirkan alam semesta, mentadaburi tanda-tanda kekuasaan Allah, dan keindahan ciptaannya, serta memikirkan Bagaimana berjalan semua ciptaan ini dengan pola yang teratur.

"Semua ini menunjukkan bukti yang kuat akan adanya pencipta dan pengatur bagi alam semesta ini," kata Syeh Manna.

Karena kata Syekh Manna, tidak mungkin ciptaan yang sempurna ini terwujud dengan sendirinya tanpa ada yang menciptakan. Dan bila keimanan kepada Allah itu benar, maka akan terlahir setelahnya keimanan kepada malaikat, kitab-kitab, para rasul, hari akhir, dan kepada takdir yang baik maupun yang buruk.

Menurut Syekh Manna, surat-surat dan ayat-ayat yang turut pada fase Makkah menggambarkan orientasi akidah dengan mengajak manusia untuk berpikir dan melihat alam semesta beserta langit dan bumi, menyaksikan rahasia-rahasia yang Allah simpan di balik semua itu, dan ketelitian, serta kesempurnaan pada alam semesta itu sendiri, yang mana Iya tersusun rapih tanpa ada kecacatan ataupun keraguan padanya.

Penetapan Hukum Madinah

Peristiwa hijrah merupakan pemisahan antara dua masyarakat dalam sejarah Islam. Saat di Makkah, akidah Islamiyah telah tertanam kuat dalam jiwa kaum Muhajirin dan sebagaimana kaum Anshar yang telah melakukan baiat. Disanalah mulai terbentuk benih-benih yang menjadi cikal bakal berdirinya masyarakat Islami. Kemudian mereka menjadikan Madinah sebagai tempat untuk menetap dalam rangka mengembangkan benih-benih tersebut.

"Pada fese inilah maka dakwah pun mulai memasuki tahap penerapan secara terorganisir," katanya.

Syekh Manna mengatakan, penetapan hukum di Madinah mengarah pada pembentukan masyarakat dan penetapan aturan dalam hal kemasyarakatan. Dan langkah pertama yang diambil oleh Rasulullah SAW dalam membangun masyarakat adalah mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar, yang dengannya orang-orang Anshar lebih mengutamakan saudaranya dari kalangan Muhajirin atas diri mereka sendiri.

Hal tersebut seperti disampaikan Allah dalam surah Al Hasyr ayat 9. "Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum kedatangan mereka (Muhajirin) mereka (Anshar) mencintai orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin) dan mereka (Anshar) tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin) dan mereka mengutamakan orang-orang (Muhajirin) atas diri mereka sendiri sekalipun mereka dalam kesusahan."

Hubungan akidah antara kaum mukminin kala itu Muhajirin dan Anshar menjadi sumber terjadinya hubungan seluruh umat Islam. Penetapan hukum pada fase di Madinah juga membahas beberapa permasalahan ibadah yang merupakan pondasi tegaknya tiang agama Islam Allah mensyariatkan zakat, puasa, dan haji melalui ayat-ayat yang diturunkan di Madinah.

Setelah pondasi akidah terbangun kokoh. Alquran dan Sunnah telah dijalankan para sahabat secara konsisten. Untuk merspon masalah-masalah kenian yang jawabannya tidak ada di dalam Alquran dan hadist. Maka Rasulullah terbuka akan sebuah saran yang lahir dari sebuah proses pemikiran atau ijtihad.  

Ketika itu dialog perdana tentang Ijtihad adalah dengan Mu’adz bin Jabbal. Rasulullah menguji kematangan intelektual dan spiritual Mu’adz dalam memecahkan persoalan kontemporer yang dihadapinya itu, jawabannya tidak didapatkan pada nash dari Allah maupun Rasullnya. Hal ini diriwayatkan beberapa sahabat Mu’adz, dari Mu’adz, bahwa Rasulullah berkata kepadanya pada saat beliau mengutusnya ke Yaman.

Rasulullah berkata “Apa yang engkau akan perbuat jika engkau memerlukan pemutusan hukum?”

Mu’adz berkata. “Aku memutuskan sesuai hukum yang terdapat dalam Kitabullah,”

Nabi kembali bertanya. “Bagaimana jika engkau tidak mendapatnya dalam Kitabullah?”

Mu’adz kembali menjawab. “Maka dengan sunnah Rasulullah,”

Lalu Nabi Muhammad bertanya lagi. “Bagimana jika engkau tidak mendapatkannya di daalam sunah Rasulullah?”

Melalui kematangan spiritual dan intelektualnya Mu’adz berkata. “Aku berijtihad dengan pendapatku dengan sungguh-sungguh,”

Mendengar jawaban yang lugas itu, Nabi merasa bangga terhadap sahabat sekaligus muridnya dan berkata sambal memegang dada Mu’adz. “Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan utusan Rasul-Nya kepada sesuatu yang diridhoi oleh Rasulullah,” katanya.

Mu’ajz adalah orang pilihan dari kalangan kaum muslimin yang mana keilmuan, agama, dan keutamaannya sudah tidak asing lagi. Selain Mu’adz para sahabat lain juga berijtihad semasa Rasulullah masih hidup, ketika pada permasalahan yang tidak terdapat pada Nas dari Alquran maupun sunnah.

    •   

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement