REPUBLIKA.CO.ID, MAKKAH -- Pada masa pemerintahan Islam, sejak masa Nabi Muhammad SAW hingga masa Khulafaur Rasyidin sahabat Nabi, sejumlah orang dipilih untuk menjadi hakim agung.
Hakim-hakim tersebut dipilih untukwakili Rasulullah SAW dalam memutuskan suatu perkara, baik yang berkenaan dengan perkara pidana maupun persoalan fatwa terkait dengan urusan hukum syariah.
Di antara mereka adalah Hudzaifah ibn al-Yaman al-`Absy. Salah satu kasus yang pernah ia selesaikan adalah persengketaan dua saudara yang saling memperebutkan batas tembok rumah mereka.
Amru bin Ash juga pernah diberikan kepercayaan untuk memutuskan persengketaan yang terjadi antara dua orang di hadapan Nabi.
Muadz ibn Jabal, seorang sahabat yang diutus Nabi ke wilayah Yaman, tepatnya di daerah Al-Janad. Muadz diinstruksikan untuk menjadi delegasi qadli Nabi di daerah tersebut, termasuk mengurusi masalah zakat dan menyebarkan syiar Islam di sana.
Sahabat lainnya adalah Uqbah ibn Amir al-Juhani, Ma`qil ibn Yasar, Ali bin Abi Thalib, Utab bin Asib di Makkah, dan Al-Ala Al-Hadrami ke Bahrain. Delegasi qadi juga diutus untuk persoalan-persoalan tertentu, seperti peperangan. Rasulullah pernah memerintahkan Saad bin Ubadah sewaktu perang Abwa dan Said bin Madhun tatkala perang Buwat.
Pada masa khulafaur rasyidin, sejumlah sahabat dan tabiin diangkat menjadi hakim agung, di antaranya Uwaimir bin Amir untuk wilayah Madinah, Syuraih bin Kharits Al Kindi untuk Kufah, Abu Musa Al Asyari di Bashrah, dan Ustman bin Qais bin Abi Al Ash untuk wilayah Mesir.
Sistem peradilan Islam secara tegas menekankan bahwa setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan yang sama di mata hukum. Rasulullah SAW telah mempraktikkan hal tersebut. Persamaan di mata hukum juga dijadikan mindset dalam sistem peradilan yang dijalankan oleh para sahabat.
Pernah suatu ketika, Umar bin Khathab bertikai dengan seorang Baduwi. Sang khalifah hendak membeli seekor kuda darinya.
Namun, ketika dicoba, kuda tersebut tidak mau berjalan dan didapati cacat. Umar bin Khathab mengajukan komplain dan mengembalikan kuda tersebut.
Si Baduwi menolaknya dan bersikukuh bahwa kuda yang dijualnya sehat dan tidak cacat. Meskipun Umar bin Khathab adalah seorang khalifah, ia tetap diputus bersalah. Syurah bin Al Harist, selaku qadi, memutuskan ada dua pilihan: ambil kuda itu apa adanya, atau Umar bin Khathab harus mengganti kuda serupa dalam kondisi sehat.