REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: A Riawan Amin
Dalam perjalanan sejarah kaum Muslim, kita disajikan dengan beragam fenomena besar yang menunjukkan puncak kinerja dan produktivitas umat. Semua lintasan sejarah tersebut membuktikan bahwa betapa tingginya produktivitas kaum Muslim.
Menariknya, peristiwa-peristiwa tersebut terjadi pada bulan Ramadhan. Bulan yang sering dianggap sebagai bulan kelesuan fisik karena tak cukup terpenuhinya kebutuhannya pada siang hari. Perang Badar Al-Kubra (2 H), Fathu Makkah (8 H), Perang Tabuk (9 H), Penaklukan Spanyol di bawah pimpinan Thariq bin Ziyad dan Musa bin Nushair (92 H), Perang Ain Jaluth (657 H), atau dalam konteks negaraperistiwa Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia (1945 M).
Fenomena di atas membuktikan bahwa tak selamanya energi dan produktivitas seseorang berjalan linier dengan konsumsi jasmani. Justru menurut para ahli makan, minum, dan berhubungan seks berlebihan tanpa aturan dan disiplin adalah kontraproduktif. Alih-alih menjadikan seseorang semakin berprestasi dalam menunaikan pekerjaannya, malah mengakibatkan turunnya tingkat produktivitas.
Itulah sebabnya adalah tidak tepat menjustifikasi bulan Ramadhan sebagai penyebab turunnya tingkat produktivitas meski dalam praktik kemasyarakatan hal tersebut menjadi fenomena. Lihat saja di dunia pendidikan. Libur menjelang dan akhir Ramadhan. Belum lagi jam belajar-mengajar yang berkurang. Di dunia kerja pun demikian. Di banyak perusahaan, jam kerja mengalami diskon.
Dalam satu kesempatan, Syekh Abdul Fattah Allam, wakil syekh agung Al-Azhar, mengatakan bahwa tidak ada pertentangan antara Ramadhan dan urusan dunia modern. “Ketika Islam memerintahkan ibadah ini, (ibadah) tersebut untuk mendorong kami bekerja dan lebih maju serta tidak pernah dimaksudkan untuk menurunkan produktivitas,” katanya.
Sejatinya, turunnya produktivitas lebih disebabkan terjadinya pelemahan atau kekalahan mental (inhizamur ruh). Kondisi inilah yang sangat berkontribusi pada tingkat apatisme, loyo, dan jumud dalam beraktivitas. Ramadhan merupakan bulan ketika mental setiap Muslim dibangun dan ditata sehingga mencapai derajat terbaik, takwa.
Lebih dari itu, Ramadhan justru bulan yang dinanti-nantikan untuk memberikan kontribusi yang semakin besar terhadap umat. Bagi yang memahami esensi dan urgensi Ramadhan, justru di sinilah semangat fastabiq al-khairat semakin ditumbuhsuburkan. Karena, sangat jelas Rasulullah SAW menyatakan, “Setiap amal anak keturunan Adam dilipatgandakan. Tiap satu kebaikan sepuluh lipat gandanya hingga tujuh ratus lipat gandanya.” (HR Bukhari-Muslim).
Bahkan, amalan-amalan sunah yang dikerjakan pada Ramadhan pahalanya dianggap sama dengan mengerjakan amalan wajib (HR Bahaiqi dan Ibnu Khuzaimah). Wallahu A’lam.