REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada saat perang Uhud sedang berkecamuk, Nabi Muhammad SAW terpojok bersama tujuh orang Anshar dan dua orang Quraisy (Muhajirin).
Ketika kaum musyrik telah merangsek mendekat, beliau bersabda, "Siapa yang bisa menolak serangan mereka, ia akan masuk surga atau menjadi temanku di surga."
Dengan segera, majulah seorang laki-laki dari kaum Anshar. Ia berjibaku melawan musuh hingga dirinya terbunuh.
Kemudian, sejumlah pasukan musyrikin kembali mendekat. Rasulullah SAW bersabda, "Siapa yang bisa menolak serangan mereka, maka ia akan masuk surga atau menjadi temanku di surga."
Maka, majulah seorang laki-laki dari kaum Anshar, lalu memerangi musuh hingga ia terbunuh. Hal seperti itu terjadi berulang-ulang hingga terbunuhlah tujuh orang Anshar.
Bagaimana orang-orang itu bisa begitu rela berkorban? Jawabannya tentu karena mereka mencintai Rasulullah SAW lebih dari diri mereka sendiri.
Sikap demikian memang diperintahkan Nabi SAW. Pernah suatu ketika, Umar bin Khattab berkata, "Wahai Rasulullah! Sungguh engkau lebih aku cintai daripada segala sesuatu kecuali dari diriku sendiri."
Rasulullah SAW berkata, "Tidak bisa (seperti itu). Demi Allah, hingga aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri."
Maka Umar berkata, "Sesungguhnya mulai saat ini, demi Allah, engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri."
Nabi SAW bersabda, "Sekarang engkau telah benar, wahai Umar" (HR Al Bukhari).
Benar, mencintai baginda Rasulullah SAW bukanlah sekadar mencintai diri pribadi beliau sebagai manusia yang sama dengan kita.
Namun, mencintai beliau adalah mencintai rasulullah (harfiah: utusan Allah), pembawa risalah Allah SWT, Alquran yang menjadi pedoman kita.
Itu juga berarti mencintai pribadi pemimpin agung, sayyidul anbiya wal mursalin, yang mengarahkan kehidupan kita kepada jalan yang benar, yang diridhai Allah SWT.
View this post on Instagram