Kamis 12 Apr 2018 13:05 WIB

Kesultanan Bima Dokumentasikan Meletusnya Gunung Tambora

.Beberapa baris dalam teks Bo Sangaji Kai mendeskripsikan letusan Gunung Tambora.

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Agung Sasongko
Gunung Tambora
Foto: Indonesiatravel
Gunung Tambora

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu peristiwa penting yang terekam dalam naskah Kesultanan Bima adalah meletusnya Gunung Tambora pada 11 April 1815.Peristiwa ini cukup mengerikan. Sejumlah peneliti mengatakan, letusan Gunung Tambora memusnahkan hampir separuh total penduduk di Pulau Sumbawa. Demikian dilansir dari buku Kerajaan Tradisional di Indonesia(1997).

Akibat letusan ini, kaldera baru juga muncul di bawah puncak Gunung Tambora dengan luas sekitar 8 kilometer persegi.Tinggi gunung ini bahkan terkikis sekitar setengahnya, yakni dari 4.

300 meter menjadi 2.815 meter.

Saat bencana ini terjadi, Kesultanan Bima sedang dipimpin Sultan Abdul Hamid.Beberapa baris dalam teks Bo Sangaji Kai mendeskripsikan letusan Gunung Tambora.Adapun teks lain, semisal Syair Kerajaan Bima, menurut Chambert-Loir menceritakannya lebih panjang.

Di sana, digambarkan tentang betapa subuh hari ketika letusan terjadi keadaan gelap gulita.

Orang-orang yang kebingungan dikejutkan dengan suara amat keras bagaikan letupan meriam besar.

Tiga hari lamanya masyarakat Bima mengalami situasi mencekam.Kelaparan merebak, korban jiwa bergelimpangan, sesudah amuk Tambora mereda.

Penelusuran terkini Chambert-Loir dan rekan juga berhasil mengungkap nama seorang pengarang Bima yang berbahasa Melayu.Dia bernama Haji Nur Hidayatullah al-Mansur Muham- mad Syuja'uddin.

Karyanya yang diketahui berjumlah dua buah.Muhammad Syuja'uddin aktif menulis dalam masa pemerintahan Sultan Ibrahim periode 1881-1915.Seperti disarikan dari kolofon naskah Jawharatul Ma'arif, pujangga ini merupakan golongan bangsawan Bima.Para leluhurnya pernah menjadi kadi atau mengisi jabatan-jabatan majelis keagamaan Islam di kerajaan ini.

Legasi lainnya dari tradisi tulis Kesultanan Bima adalah mushaf Alquran setebal 598 halaman.

Seperti dikutip dari Republika, 19 Februari lalu, naskah tersebut saat ini telah berusia dua abad.

Ayat-ayat suci di dalamnya ditulis dengan tulisan tangan.Kitab suci ini diketahui pernah digunakan sultan Bima terakhir, Muhammad Salahuddin, sejak masa kecilnya sampai menjadi penguasa setempat.

Kini, mushaf tersebut menjadi salah satu koleksi Bayt Alquran, yang berlokasi di sekitar Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Awalnya, naskah ini dimiliki Siti Maryam Salahuddin, pakar filologi yang masih keturunan Sultan Muhammad Salahuddin. Perempuan yang lahir pada 1925 ini merupakan lulusan Universitas Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement