REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam batas-batas tertentu, prinsip demokrasi berjalan di Kesultanan Bima. Seorang sultan dikendalikan kekuasaannya dengan ketentuan dewan hadat(adat). Sejak dilantik, sultan Bima merupakan pengemban amanah hadat atau yang diistilahkan sebagai Ngusi kuasa biasa roguna.
Dia tetap memegang komando tertinggi.Bahkan, rakyat memandangnya sebagai wakil Tuhan di muka bumi.Namun, tidak ada kebijakan sultan yang tanpa pertimbangan sebelumnya oleh Majelis Hadat.
Dewan hadatdiisi para pejabat yang dipilih secara bertahap oleh rakyat Bima.Dalam hal ini, pertama-tama rakyat memilih kepala kampung mereka.Selanjutnya, para kepala kampung memilih orang-orang yang akan menduduki jabatan bumi nae, jeneli, dan tureli.Akhirnya, secara kolektif kolegial, mereka menjadi anggota Majelis HadatKesultanan Bima.
Pelantikan seorang sultan Bima biasanya diselenggarakan di pasar atau alun-alun istana.
Dalam acara tersebut, seluruh rakyat yang hadir akan mengajukan tiga orang wakil untuk menyampaikan aspirasi kepada pihak istana.
Sementara itu, para anggota dewan hadat dan syariat juga menyaksikan.Kemudian, calon sultan mengikrarkan janji setia, amanah, jujur, dan mengutamakan kepentingan rakyat.
Sebagai tanda pelantikan usai, sultan tersebut menerima seperangkat barang-barang kehormatan, semisal payung indah dari daun lontar, keris Samparaja, dan mahkota yang berhiaskan berlian.Selanjutnya, seluruh anggota dewan syariat (Syara Dana Mbojo) menyatakan setia kepada sang sultan.
Acara ini diakhiri dengan pawai meriah dan bunyi meriam dari loji Belanda.Demikian uraian Ismail (1988) dan Chambert-Loir (2004)yang dikutip Haris.
Riak-riak perlawanan terhadap hegemoni Belanda juga muncul dari istana Kesultanan Bima.
Salah satu penentang Kompeni adalah Sultan Jamaluddin alias Sangaji Bolo yang berkuasa dalam periode 1687-1696.Ketika masih anak-anak, Jamaluddin dididik Syekh Umar al-Bantani.
Ulama asal Banten ini kerap menuturkan kisah-kisah kepahla wanan Islam serta perjuangan sultan Banten atau Melaka yang melawan penjajahan Eropa.Pola pendidikan ini kemudian memengaruhi sikap Jamaluddin terhadap Belanda.Oleh karena itu, Kompeni tidak menyukainya.
Suatu kali, permaisuri Kesultanan Dompu menjadi korban pembunuhan.Kebetulan, Sultan Jamaluddin saat itu baru saja mengunjungi bibinya tersebut.Pejabat Belanda di Dompu kemudian memfitnah Jamaluddin.Sultan Dompu mempercayai kabar bohong itu sehingga Jamaluddin harus ditangkap dan dibawa ke Makassar.
Selanjutnya, dia diasingkan ke Batavia sampai wafatnya pada 6 Juli 1696. Dia dikebumikan di Tanjung Priok. Beberapa tahun kemudian, jasadnya dipindahkan ke Bima, tepatnya pada kompleks permakaman Tolo Bali, bersebelahan dengan kuburan Syekh Umar al-Bantani.