REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keputusan-keputusan penting Kesultanan Ottoman acap kali melibatkan fatwa. Pada 1516, Sultan Selim I meminta fatwa dari 'Ali al-Jamali untuk memberikan keabsahan atas penyerangan terhadap Kesultanan Mamluk di Mesir.
Pada 1570, Sultan Selim II meminta fatwa dari Abu as-Su'ud yang menanyakan keabsahan penyerangan tentara Ottoman terhadap Venetia. Bahkan, hingga hal yang sederhana. Soal konsumsi kopi, otoritas setempat meminta fatwa kepada Abu as-Su'ud.
Beroperasinya surat kabar pertama pun meminta fatwa dari Abdullah Effendi pada 1727 M. Pada abad ke-19 Masehi, reformasi hukum dan administrasi dalam Nizam-i Jadid mendapatkan legitimasinya dari fatwa Es'ad Effendi.
Ada dua kumpulan fatwa penting dari zaman Ottoman. Pertama, yang disusun Ibn Abidin dari fatwa-fatwa yang telah dikeluarkan mufti Damaskus, Hamid al-'Imadi. Buku itu berjudul al-Uqud al-durriyya fi tanqih al-fatawa al-hamidiyya (1883).
Kedua, kumpulan fatwa dari mufti Suriah, Khayr al-Din al-Ramli, yang disusun anaknya. Buku itu diberi judul al-Fatawa al-Khayriyya li-naf al-bariyya (1883).
Ada pula perbedaan dari segi geografis wilayah kekuasaan Ottoman. Di Anatolia dan sejumlah provinsi di Eropa, mufti biasanya bukanlah dari golongan 'ulama', melainkan warga lokal yang sepuh dan tanpa memegang posisi resmi dari negara. Biasanya, fatwanya dimintai oleh qadi.
Di wilayah Arab, sebaliknya, mufti berasal dari kalangan terpelajar yang ditunjuk oleh syaikhul-Islam dan diakui resmi oleh otoritas lokal. Untuk kawasan Iran, Asia Tengah, da