Kamis 10 Nov 2016 13:39 WIB

Meramal Nasib, Ini Pandangan Ulama

Rep: Yusuf Assidiq/ Red: Agung Sasongko
Meramal Nasib (Ilustrasi).
Foto: IST
Meramal Nasib (Ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekarang ini, hal-hal berbau syirik seperti bebas dipertontonkan. Mulai dari iklan ramalan nasib hingga ragam bentuk lainnya.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahkan sampai harus membahas secara khusus masalah ini saat berlangsung Munas VII MUI pada 26-29 Juli 2005 lalu.  MUI melihat, akhir-akhir ini semakin banyak praktek perdukunan (kahanah) dan peramalan ('irafah) di masyarakat. Ini antara lain ditandai dengan maraknya tayangan media massa, baik cetak maupun elektronik yang berhubungan dengan hal itu.

''Fenomena tersebut semakin meresahkan umat, sebab dapat membawa masyarakat pada perbuatan syirik (menyekutukan Allah SWT), dosa paling besar yang tidak diampuni Allah SWT,'' ujar Ketua Komisi Fatwa MUI, KH Ma'ruf Amin.

Oleh karena itu, pihaknya merasa perlu untuk segera memfatwakan masalah ini agar dijadikan pedoman. ''Tujuannya adalah guna menjaga kemurnian tauhid dan menghindarkan masyarakat dari aktivitas yang dapat membawa kepada kemusyrikan,'' imbuhnya. 

Ketentuan Alquran dan hadis yang melarang kedua praktek itu, menjadi pertimbangan penetapan fatwa. Firman Allah SWT, ''Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.'' (QS an Nisaa [4] : 48)

Dalam surat an Naml [27] ayat 65, Allah SWT mengingatkan bahwa tiada seorang pun yang mengetahui perkara gaib, kecuali Allah. Dan Dia tidak akan memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu, kecuali kepada Rasul yang diridlai-Nya. (QS al Jin [72] : 26-27)

Terkait peramalan, disebutkan dalam surat Luqman [3] ayat 24, ''Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat, dan Dia-lah yang menurunkan hujan dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang mengetahui di bumi mana dia akan mati.''

Dibantu syaitan

Rasulullah SAW kemudian menerangkan apa saja kerugian dan hukuman yang dijatuhkan jika melanggar larangan ini. Secara garis besar, ada dua hal, yakni tak akan diterima shalat seseorang selama 40 malam jika mendatangi dukun serta bertanya tentang sesuatu kepadanya.

Sementara bila orang tadi datang ke dukun atau tukang ramal dan membenarkan yang dikatakannya, maka dia tergolong kufur terhadap apa yang telah diturunkan kepada Rasulullah SAW. (HR Imam Ahmad dan al Hakim dari Abu Hurairah)

Imam al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah menjabarkan perkara yang diharamkan adalah meramal dengan melempar kerikil, ilmu astrologi (ilmu nujum/ perbintangan), ilmu ramal dengan melihat garis tangan, meramal dengan garis-garis, meramal dengan melihat air dalam mangkuk atau gelas atau sejenisnya. ''Semua itu termasuk praktek perdukunan,'' katanya.

Adapun dalam kitab Fathul Baari, Ibnu Hajar menukil ucapan al-Khaththabi yang menyebut para dukun adalah orang-orang yang punya otak yang tajam, hati yang jahat dan tabiat yang keras.

Karena itulah, syaitan suka berteman dengan mereka karena memiliki kesamaan dalam perkara-perkara tersebut. Dan syaitan, sambung dia,  membantu mereka dengan penuh daya upaya.

Setelah menilik aspek-aspek ini, MUI akhirnya memutuskan bahwa segala bentuk praktek perdukunan dan peramalan hukumnya haram. Ketentuan yang sama juga berlaku pada publikasi kedua praktik tadi. ''Memanfaatkan, menggunakan dan atau memercayai segala praktek perdukunan dan peramalan, hukumnya haram,'' tutur Kiai Ma'ruf, menegaskan dalam keputusan fatwa MUI.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement