REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fikih Islam memberikan jawaban-jawaban dari berbagai persoalan manusia. Baik persoalan yang sudah muncul pada era Rasulullah SAW maupun masalah-masalah kontemporer yang dihadapi saat ini.
Salah satu bahasan yang cukup menarik dan terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama adalah boleh tidaknya menggambar. Turunan dari persoalan menggambar yang dihadapi pada era modern adalah fotografi. Kalangan ulama juga bersilang ketetapan soal proses menghasilkan gambar dengan teknologi ini.
Soal menggambar sendiri, Syekh Yusuf Qaradhawi membagi hukum berdasarkan tujuan, di mana gambar itu diletakkan dan bagaimana pembuatannya.
Jika gambar tersebut berupa sesuatu yang disembah selain Allah, hukumnya menjadi haram. Termasuk dalam larangan tersebut adalah gambar makhluk yang dikultuskan.
Namun, jika gambar yang dilukis adalah gambar makhluk yang bernyawa tetapi tidak untuk tujuan disembah atau dikultuskan, hukumnya tidak sampai ke derajat haram. Menurut Syekh Qaradhawi, hukum paling tinggi adalah makruh.
Sementara, untuk fotografi, menurut Syekh Yusuf Qaradhawi hukumnya boleh. Pasalnya, proses menggambar dengan fotografi sama sekali berbeda. Ulama dunia yang kini menetap di Qatar itu mengatakan, fotografi adalah masalah baru yang belum pernah terjadi pada zaman Rasulullah SAW. Menyitir pendapat mantan Mufti Mesir, Syekh Muhammad Bakhit, proses fotografi adalah penahanan bayangan dengan suatu alat yang telah dikenal oleh ahli-ahli teknik (tustel). Cara semacam ini sedikit pun tidak ada larangannya.
Larangan pada menggambar lebih ke menciptakan sesuatu yang semula tidak ada menjadi ada yang berpotensi menandingi ciptaan Allah SWT. Sementara, pengambilan gambar dengan fotografi sama sekali tidak menciptakan objek baru.
Selain itu, kebolehan fotografi juga disebabkan asas darurat karena foto pada era modern sangat diperlukan. Khususnya untuk kartu penduduk, paspor, dan foto identitas yang tujuannya sama sekali jauh dari mengagungkan foto tersebut.
Pendapat Syekh Yusuf Qaradhawi diperkuat oleh Prof Ali Jum'ah Muhammad, mantan mufti agung Mesir. Menurut Ali Jum'ah, foto adalah bayangan suatu objek yang ditangkap kamera. Proses ini sama sekali berbeda dengan melukis, apalagi membuat patung. Sehingga, fotografi diperbolehkan.
Menurutnya, tidak ada unsur menyamai hak penciptaan yang hanya dimiliki oleh Allah SWT semata dalam fotografi. Hukum kebolehan foto tetap dengan syarat, yakni objek foto tidak terbuka aurat dan tidak menimbulkan syahwat.
Jika seseorang memiliki foto yang auratnya tidak tertutup penuh, Ali Jum'ah menyarankan agar orang tersebut berusaha hanya mahramnya yang melihat foto tersebut.
Jika ia sudah berusaha maksimal, kemudian ada orang lain yang bukan mahramnya melihatnya, menurut Ali Jum'ah, hal tersebut tidak dihitung sebagai perbuatan maksiat. Sehingga, pada era modern seperti saat ini dengan fenomena selfie, orang-orang wajib berhati-hati. Agar foto-foto yang dihasilkan terbebaskan dari foto yang mengumbar aurat atau menimbulkan syahwat.
Pendapat berbeda diungkapkan oleh Lajnah Daimah Kerajaan Arab Saudi. Lembaga fatwa yang saat itu diketuai oleh Syekh Abdul Azis bin Abdullah bin Baz hanya membolehkan foto yang digunakan untuk kepentingan identitas.
Sementara, memajang foto baik foto makhluk maupun tidak, seperti raja, para ulama, atau orang-orang saleh hukumnya dilarang. Lajnah Daimah beralasan, fotografi bukanlah sekadar mencetak, tetapi proses sebuah alat yang menghasilkan gambar. Maka, hal ini termasuk menyamai ciptaan Allah.
Larangan tentang gambar bersifat umum karena mengandung unsur menyamai ciptaan Allah dan berbahaya terhadap akidah dan akhlak, tanpa memandang alat atau cara gambar tersebut dihasilkan.
Fotografi tidak seperti halnya gambar orang yang berdiri di depan cermin karena gambar yang tampak pada cermin itu hanya bayangan yang akan hilang dengan perginya seseorang dari cermin tersebut.
Sedangkan, fotografi tetap ada setelah orang tersebut pergi dari kamera. Menurut Lajnah Daimah, gambar tersebut akan memberi efek buruk pada akidah seseorang dan keindahannya akan memberi efek buruk pada akhlaknya.