Ahad 15 Nov 2015 14:15 WIB

Puisi-Puisi Rumi, Kebanggaan Dunia Islam yang Dicintai Barat

Rep: c16/ Red: Agung Sasongko
Jalaluddin ar-Rumi (ilustrasi).
Foto:
Puisi-puisi sufistik Rumi sarat dengan makna dan pesan humanis yang universal.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lahir pada 1207 di Vakhsh (Tajikistan), Rumi berayahkan Bahauddin, seorang teolog terkemuka pada zamannya.  Di usianya yang masih sangat belia, Rumi kecil diajak orang tuanya meninggalkan kota kelahirannya yang sedang terancam oleh invasi tentara Mongol.

Setelah sekian tahun lamanya berkelana, Bahauddin dan keluarga akhirnya menetap di Kota Konya. Atas permintaan pemimpin Dinasti Seljuk, Sultan Kaikobad, ayah Rumi pun menjadi kepala di sebuah sekolah lokal di kota tersebut.

Setelah Bahauddin wafat, Rumi diminta menggantikan ayahnya sebagai kepala sekolah. Pengetahuan dan wawasan yang luas menjadi daya tarik Rumi. Tak heran, ia tampil sebagai pendidik yang populer dan disayangi murid-muridnya.

Pertemuannya dengan seorang sufi, Shams-e Tabrizi, membawa perubahan yang sangat besar dalam hidup Rumi. Saat bertemu Shams, usia Rumi hampir menginjak 40 tahun. Shams mampu menginspirasi Rumi untuk mempelajari sufi mistik secara lebih mendalam. Shams pula yang mendorong Rumi untuk mengeksplorasi musik dan tari sebagai sarana mengekspresikan cinta Ilahi.

Kala itu, sebagian kalangan menganggap metode tersebut tak lazim. Bahkan, Rumi pun dikritik oleh murid-muridnya. Rupanya, mereka cemburu dengan Rumi dan Shams. Mereka menilai, Shams memberikan pengaruh yang tidak baik kepada Rumi. Belakangan, mereka bersekongkol untuk memisahkan kedua sahabat ini.

Suatu ketika, Shams menghilang dan tidak muncul lagi di hadapan Rumi. Banyak yang menduga Shams hilang karena ia diculik dan dibunuh oleh para pengikut Rumi yang merasa cemburu dengan kehadiran Shams. Ada pula yang beranggapan Shams dibunuh oleh putra Rumi sendiri, Alauddin.

Selepas kepergian Shams, Rumi dilanda kesedihan dan kerinduan yang sangat mendalam terhadap sahabatnya itu.  Sebagai orang yang berperasaan halus, Rumi kemudian mengekspresikan rasa sedihnya dengan memadukan musik dan puisi.

Pada masa dukanya ini, Rumi justru menghasilkan sebuah karya berupa kumpulan puisi berjudul Diwan-e Shams-e Tabrizi. Kumpulan puisi ini disebut-sebut sebagai karya emas Rumi yang pertama. Seperti halnya Masnawi, maka  Diwan-e Shams-e Tabrizi dianggap sebagai salah satu teks penting dalam khazanah kesusastraan Persia.

Rumi wafat dalam usia 66 tahun. Sepeninggalnya, para pengikut Rumi mendirikan Tarekat Mawlawi. Berbeda dengan tarekat lainnya, tarekat ini mempraktikkan ritual zikir dibarengi dengan gerakan tarian berputar-putar seperti yang dulu kerap dilakukan Rumi. 

Kini, karya-karya Rumi telah dibaca oleh banyak orang di seluruh penjuru Bumi. Sang penyair Muslim ini berhasil menembus batas-batas genre. Visinya tentang cinta yang universal dan kesatuan dengan Ilahi menemukan resonansi yang pas dalam dunia modern.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement