Jumat 16 Oct 2015 19:41 WIB

Yuk..Pahami Jaiz dalam Hukum Islam

JAKARTA -- Gejala dehidrasi rentan melanda para calon haji di tengah pelaksanaan ibadah di Tanah Suci. Untuk mengatasinya, ada pola khusus minum yang baik.  Minum itu jangan hanya saat selesai makan, tapi terus dilakukan,
Foto: antaranews
JAKARTA -- Gejala dehidrasi rentan melanda para calon haji di tengah pelaksanaan ibadah di Tanah Suci. Untuk mengatasinya, ada pola khusus minum yang baik. Minum itu jangan hanya saat selesai makan, tapi terus dilakukan," ujar perwakilan dari Indonesian

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Khazanah fikih, khususnya hukum Islam, membagi hukum sesuatu menjadi lima macam, yakni wajib, sunah, haram, mubah, dan makruh. Beberapa ulama masih membagi lagi jenis-jenis hukum dari masing-masing lima status hukum Islam tersebut.

Salah satunya adalah mubah. Secara istilah, mubah bermakna jika dikerjakan tidak mendapat pahala, jika ditinggalkan tidak mendapat dosa. Beberapa ulama kemudian menyebut di dalam hukum mubah sendiri ada yang disebut dengan jaiz.

Secara istilah, jaiz adalah suatu pekerjaan yang jika dilakukan tak mendapat pujian, jika ditinggalkan tak mendapat celaan. Jaiz dan mubah terkadang disamaartikan, namun terkadang pula jaiz dikategorikan bagian dari mubah.

Imam al-Ghazali mendefinisikan jaiz sebagai pekerjaan yang ada izin dari Allah SWT untuk mengerjakan dan meninggalkannya. Tanpa diiringi pujian bagi yang melakukan dan celaan bagi orang yang meninggalkannya.

Sementara, pakar ushul fikih, Abu Ishaq Ibrahim bin Musa asy-Syatibi, menjabarkan jaiz sebagai pekerjaan bagi seorang mukalaf yang diberi hak untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan. Jika memilih pekerjaan tidak akan mendapat pujian, jika menolak pekerjaan itu tidak akan mendapat celaan.

Sebagai contoh, perbuatan yang memiliki hukum jaiz adalah makan dan minum. Setiap kaum Muslimin bebas an minum dalam waktu-waktu tertentu atau menundanya. Para ulama berpendapat sesuatu bisa masuk dalam hukum jaiz karena kadar manfaat dan madharatnya sama.

Ada beberapa cara menentukan apakah sesuatu tersebut dihukumi jaiz. Pertama, adanya nas yang jelas yang menunjukkan kebebasan seseorang untuk memilih apakah mengerjakan atau meninggalkan. Kedua, apabila terdapat nas yang meniadakan dosa bagi pelakunya.

Seperti hanya dalam firman Allah SWT, "Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika di sembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi, barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. (QS al-Baqarah [2]: 173)

Ketiga, tidak ada nas yang melarangnya atau mengharamkannya. Seperti membaca koran, mendengar siaran radio, naik sepeda motor, dan sebagainya. Keempat, ada perintah untuk melakukan sesuatu, tapi ada tanda-tanda jika perintah itu hanya menunjukkan kebolehan.

Salah satu contohnya adalah firman Allah SWT dalam surah al-Jumu'ah ayat 10, "Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung."

Kelima, adanya nas yang menyatakan jika sesuatu itu halal, seperti hanya dalam firman Allah SWT, "Pada hari ini Ku-halalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang- orang yang diberi Alkitab itu halal bagimu."

Keenam, pada dasarnya sesuatu itu diperbolehkan karena tidak ada yang melarang dan tidak ada yang memerintah. Hal ini sesuai dengan kaidah fikih yang menyebut, "Segala sesuatu itu hukum asalnya boleh jika tidak ada nas yang melarang."

Imam asy-Syatibi membagi mubah menjadi empat bagian. Pertama, mubah yang juz\'i (parsial) tidak menuntut untuk dikerjakan, namun secara kulli (menyeluruh) hukumnya menjadi wajib. Misalnya, makan dan minum. Bagi satu orang makan dan minum adalah kebebasan. Ia boleh memilih mengerjakan atau menunda. Namun, bagi manusia secara umum, makan dan minum adalah kewajiban demi menjaga kelangsungan hidup.

Kedua, mubah yang juz'i namun dapat dijadikan sunah. Misalnya, makan dan minum sendiri pada dasarnya adalah mubah juz'i, namun ia makan mencontoh Rasulullah dengan tidak mubazir atau berlebih-lebihan. Maka, ada nilai sunah ada ganjaran dalam hal mencontoh perbuatan Rasulullah.

Ketiga, mubah juz'i dapat menjadi haram jika ditinjau secara kulli. Misalnya, menunda makan dan minum. Hukum awalnya mubah, namun jika menunda terus- menerus hingga menyiksa diri, hukumnya jatuh menjadi haram.

Keempat, mubah juz'i dapat menjadi makruh secara kulli. Misal, menurut Imam asy-Syatibi hukum mendengarkan nyanyian. Hukum asalnya yang boleh bisa menjadi makruh jika dilakukan terus-menerus hingga melalaikan keperluan lainnya. 

Sumber: Pusat Data Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement