REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nashih Nashrullah
Tawasul atau berwasilah kepada Rasulullah SAW termasuk salah satu persoalan klasik dan masih dibicarakan dengan hangat, bahkan memanas belakangan ini. Oleh sebagian kalangan, permasalahan tawasul dijadikan sebagai senjata untuk memvonis syirik yang mendekati pada zona kekufuran. Benarkah demikian?
Topik tentang tawasul turut menyedot pula perhatian Lembaga Fatwa Dar al-Ifta’ Mesir. Lembaga fatwa resmi negara berjuluk seribu menara itu prihatin dengan sikap ketidakdewasaan sejumlah pihak yang cenderung mengafirkan saudara Muslim pendukung diperbolehkannya tawasul. Padahal, lembaga yang pernah digawangi oleh Syekh Ali Jumah itu menegaskan, tawasul kepada Rasulullah boleh dilakukan. Ini menjadi kesepakatan para ulama mazhab.
Lembaga ini berargumentasi dengan sejumlah dalil, antara lain, ayat 64 surah an-Nisa'. “Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.
Sedangkan, dalil lain dari hadis, seperti riwayat Usman bin Hanif yang dinukilkan oleh Imam at-Tirmidzi, Nasai, dan Ibnu Majah. Dalam hadis itu, Rasul mengatakan ke sahabat yang meminta doa kepada Rasulullah. Rasul memberikan pilihan, bisa saja permintaan sahabat itu dikabulkan. Lalu, Rasul memberikan anjuran untuk berdoa dengan redaksi doa menyertakan kalimat wa atawajjahu ila’ika binabiyyika Muhammad(saya menghadap kepada-Mu ya Allah, dengan perantaraan Nabi-Mu, Muhammad).
Imam Ahmad bin Hanbal, seperti dinukilkan al-Maruzi, pernah mengatakan, jika memiliki hajat tertentu maka mintalah kepada Allah dan perkuat dengan bertawasul atas kemuliaan Rasulullah. “Niscaya Allah akan kabulkan,” katanya. Bahkan, dalam kitab al-‘Ilal wa wa Ma’rifat ar-Rijal, Ahmad bin Hanbal tidak mempermasalahkan tabaruk (mengharap keberkahan) dengan mencium dan memegang makam Rasulullah.
Oleh Ibnu Taimiyah nukilan ini dipakai sebagai sanggahan terhadap al-Akhanai. Itu akibat tudingan yang disematkan kepada Ibnu Tamiyyah bahwa dirinya melarang bertawasul kepada Rasulullah. Ini ditegaskan pula dalam magnum opus kompilasi fatwanya, yakni Majmu’ al-Fatawa. Bertawasul kepada Rasul adalah berdoa agar mendapatkan syafaatnya yang telah dijanjikan. Tokoh terkemuka dari Mazhab Hanbali, yakni Ibnu Quddamah, juga berpendapat bertawasul kepada Rasulullah boleh dilakukan. Itu seperti penegasannya dalam kumpulan wasiat yang ia tulis.
Menurut Imam Ibn al-Hajj al-Abdari, salah seorang pemuka Mazhab Maliki, bertawasul kepada Nabi dianggap sebagai cara yang tepat untuk menghapuskan dosa. Ini tak terlepas dari keagungan dan syafaat yang dimiliki oleh Nabi akhir zaman tersebut. Karenanya, ia mengingatkan agar siapa pun yang berziarah ke makam Rasulullah, tidak lupa berdoa dengan menyebut keagungan Rasul. Pendapat serupa juga dikemukakan Imam an-Nawawi dari Mazhab Syafi’i.
Namun, Komite Tetap Kajian dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi menyatakan bahwa bertawasul dengan kemuliaan Rasulullah tidak boleh dilakukan. Larangan ini adalah bentuk antisipasi dan langkah preventif saddu adz-dzari’ah agar yang bersangkutan tidak terjerumus dalam perbuatan sirik. Sekalipun, lembaga ini menegaskan bahwa pelakunya tidak dihukumi musyrik dengan tingkat kesirikan yang menyebabkan keluar dari agama.
Lembaga yang pernah diketuai Syekh Abdullah bin Baz itu mendasari langkah preventif tersebut dengan sejumlah dalil, seperti surah al-An’am ayat 108. Ayat itu melarang umat Islam untuk mencaci maki tuhan pemeluk agama lain. Ini agar tidak muncul reaksi atau balasan cacian yang sama atau mungkin lebih pedas. Alasan preventi juga merujuk pada hadis riwayat Bukhari dari Aisyah yang melarang umat Rasulullah menjadikan makam para nabi sebagai tempat shalat.