REPUBLIKA.CO.ID, Anda yang suka berinvestasi dalam bentuk obligasi tak perlu khawatir. Pasalnya, DSM MUI telah menetapkan pedoman obligasi yang sesuai syariah. Seperti apakah?
Dalam fatwa itu, DSM MUI menetapkan obligasi yang tidak dibenarkan menurut syariah yaitu obligasi yang bersifat utang dengan kewajiban membayarberdasarkan bunga.
“Obligasi yang dibenarkan menurut syariah yaitu obligasi yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah,” terang Ketua DSN MUI, KH MA Sahal Mahfudh.
Lalu apa yang disebut dengan obligasi syariah itu? Fatwa tersebut menjelaskan bahwa obligasi yang sesuai syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/margin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.
Dalam fatwa tersebut, DSN MUI pun menetapkan ketentuan khusus terkait obligasi syariah. Pertama, akad yang dapat digunakan dalam penerbitan obligasi syariah antara lain: a) Mudharabah (muqaradhah)/ qiradh; b) Musyarakah; c) Murabahah; d) Salam; e) Istishna; dan f) Ijarah.
Kedua, jenis usaha yang dilakukan emiten (mudharib) tidak boleh bertentangan dengan syariah dengan memperhatikan substansi Fatwa DSN-MUI Nomor 20/DSN-MUI/IV/2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksa Dana Syariah.
Ketiga, pendapatan (hasil) investasi yang dibagikan Emiten (Mudharib) kepada pemegang Obligasi Syariah Mudharabah (Shahibul Mal) harus bersih dari unsur non-halal. Keempat, pendapatan (hasil) yang diperoleh pemegang obligasisyariah sesuai akad yang digunakan. Kelima, pemindahan kepemilikan obligasi syariah mengikuti akad-akad yang digunakan.
“Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah,” jelas Kiai Sahal dalam fatwa tersebut.