Kamis 29 Nov 2012 11:07 WIB

Bagaimana Hukum Pengalihan Utang? (1)

Rep: Heri Ruslan/ Red: Chairul Akhmad
Ilustrasi
Foto: blogspot.com
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Di era modern ini, utang sepertinya telah menjadi hal yang biasa. 

Berbagai transaksi ditawarkan dengan cara kredit, mulai dari kendaraan, peralatan elektronik hingga perumahan. 

Para pengusaha pun tak lepas dari utang. Untuk membesarkan usaha yang dikelolanya, berutang atau meminjam modal ke perbankan menjadi pilihan.

Seiring berkembangnya lembaga keuangan syariah (LKS) di Tanah Air, kesadaran masyarakat untuk menerapkan prinsip-prinsip syariah dalam bertransaksi juga mulai menggeliat.

Kini, ada sebagian umat Islam yang memiliki keinginan untuk mengalihkan utangnya atau transaksi nonsyariah di bank konvensional ke LKS agar sesuai syariah. Bisakah mengalihkan utang dengan cara itu? Lalu apa hukumnya?

Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) telah mengkaji masalah tersebut. Bahkan, telah menetapkan Fatwa Nomor: 31/DSN-MUI/VI/2002 tentang Pengalihan Utang.

Fatwa itu ditetapkan dengan sejumlah pertimbangan. Pertama, salah satu bentuk jasa pelayanan keuangan yang menjadi kebutuhan masyarakat adalah membantu masyarakat untuk mengalihkan transaksi nonsyariah yang telah berjalan menjadi transaksi yang sesuai dengan syariah.

“LKS perlu merespons kebutuhan masyarakat tersebut dalam berbagai produknya melalui akad pengalihan utang oleh LKS,” ungkap Ketua Umum DSM MUI, KH MA Sahal Mahfudh dalam fatwa itu.

Fatwa pengalihan utang ditetapkan, kata dia, agar akad tersebut dilaksanakan sesuai dengan Syariah Islam. Hal itu sesuai dengan Alquran dan hadis.

Dalam Surah Al-Maidah [5] ayat 1, Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman! Penuhilah aqad-aqad itu...” Dalam Surah Al-Isra’ [17] ayat 34, Sang Khalik berfirman, “... dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan awabnya.”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement