Selasa 27 Nov 2012 14:13 WIB

Hukum Pernikahan Penderita HIV/AIDS (1)

Rep: Heri Ruslan/ Red: Chairul Akhmad
Ilustrasi
Foto: blogspot.com
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Penyakit HIV/AIDS dapat dijadikan alasan untuk menuntut perceraian apabila salah satu dari suami-istri menderita penyakit itu.

Jumlah penderita HIV/AIDS di Tanah Air terus meningkat. Pada 2010, diperkirakan penderita HIV/AIDS mencapai 93 ribu hingga 130 ribu orang. 

Angka itu hanyalah fenomena gunung es. Sebab, jumlah penderita HIV/AIDS yang tampak hanyalah 5-10 persen.

HIV/AIDS telah menyebar di hampir seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Kenyataan itu tentu amat memprihatinkan. Ajaran Islam memerintahkan umatnya untuk merawat, mengobati dan memperlakukan penderita HIV/AIDS secara manusiawi, tetapi tak mengorbankan pihak lain tertular penyakit yang belum ada obatnya itu.

Sebagaimana layaknya manusia biasa, penderita HIV/AIDS tentu saja masih memiliki keinginan untuk menikah. Lalu bagaimana pandangan hukum Islam terhadap masalah itu?  Bolehkah penderita HIV/AIDS menikah dengan orang yang tak menderita?  Selain itu, bagaimana pula hukum pernikahan antarsesama penderita HIV/AIDS?

Guna menjawab pertanyaan itu, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menetapkan fatwa terkait masalah itu. Fatwa MUI yang mulai berlaku pada 24 Juni 1997 itu secara rinci membahas masalah hukum pernikahan penderita HIV/AIDS.

Dalam fatwanya, Komisi Fatwa MUI menyatakan,apabila HIV/AIDS dianggap sebagai penyakit yang tak dapat disembuhkan (maradh daim), maka hukumnya makruh. Hal tersebut didasarkan pada Kifayah al-Akhyar III halaman 38:

“Keadaan kedua yaitu laki-laki yang mempunyai biaya pernikahan, namun ia tak perlu menikah, baik karena ketidakmampuannya untuk melakukan hubungan seksual sebab kemaluannya putus atau impoten maupun karena sakit kronis dan lain sebagainya, laki-laki seperti ini juga makruh menikah.”

Hukum pernikahan antara penderita HIV/AIDS dengan orang yang tak menderita penyakit itu bisa berubah menjadi haram. Syaratnya, jika penyakit tersebut susah disembuhkan (maradh daim), serta diyakini membahayakan orang lain (tayaqqun al-idhar).

Komisi Fatwa MUI melandaskan hal itu pada Al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuhu VII halaman 83: “Apabila laki-laki yang akan kawin yakin bahwa perkawinannya akan menzalimi dan menimpakan kemudharatan atas perempuan yang akan dikawininya, maka hukum perkawinannya itu adalah haram.”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement