Senin 26 Nov 2012 07:37 WIB

Hukum Tabungan di Bank (2)

Rep: Heri Ruslan/ Red: Chairul Akhmad
Sejumlah buku tabungan (ilustrasi).
Foto: Antara//M Risyal Hidayat
Sejumlah buku tabungan (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Tabungan yang dibenarkan menurut Dewan Syariah Nasional (DSN) adalah tabungan yang berdasarkan prinsip mudharabah dan wadi’ah.

Menurut DSN, dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan mengembangkannya, termasuk di dalamnya mudharabah dengan pihak lain.

Selain itu, modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai dan bukan piutang. “Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam akad pembukaan rekening,” papar DSN. 

Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional tabungan dengan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya.

Dalam fatwanya, DSN menegaskan, bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan.

Hal lain yang disoroti DSN dalam fatwa itu adalah ketentuan umum tabungan berdasarkan wadi’ah.

Pertama, bersifat simpanan. Kedua, simpanan bisa diambil kapan saja (on call) atau berdasarkan kesepakatan. Ketiga, tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (athaya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.

Dalam menetapkan fatwa tersebut, ulama yang tergabung dalam DSN berpijak pada Alquran, hadis, ijmak dan qiyas. Allah SWT berfirman dalam surah An-Nisa ayat 29, “Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu.”

Selain itu,  Allah SWT juga berfirman dalam  surah Al-Baqarah ayat 283, “Maka jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya.”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement