Jumat 05 Oct 2012 18:59 WIB

Mendahulukan Cinta Kepada Allah (3-habis)

Rep: Hannan Putra/ Red: Chairul Akhmad
Ilustrasi
Foto: wordpress.com
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Kemudian, ia berkewajiban mewujudkan kecintaan dan kebenciannya melalui seluruh anggota tubuhnya sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan.

Apabila anggota tubuhnya melakukan sesuatu yang bertentangan dengan ketentuan tadi, maka hal ini menunjukkan ketiadaan rasa cinta yang sejati di dalam dirinya.

Dan ketika itu, seseorang diharuskan memohon ampunan dan tobat kepada Allah dari perbuatan tersebut seraya menyempurnakan kembali cinta yang semestinya.

Wahai hamba Allah, ketahuilah sesungguhnya perbuatan maksiat timbul karena mendahulukan cinta kepada hawa nafsu individual ketimbang cintanya kepada Allah dan Rasul- Nya. Demikian pula semua perbuatan bid’ah, hal ini muncul sebagai akibat didahulukannya kepentingan hawa nafsu ketimbang syariat yang mulia.

Barang siapa cintanya, bencinya, pemberiannya dan pencegahannya hanya untuk kepentingan hawa nafsunya, hal ini menunjukkan kurangnya keimanan yang wajib ada dalam dirinya.

Ketika itu, seseorang diharuskan bertobat dari perbuatannya, kemudian kembali kepada sunah Rasul SAW, mendahulukan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya serta semua yang diridhai Allah dan Rasul-Nya daripada kepentingan hawa nafsu dan segala keinginannya.

Setiap Mukmin sejati, wajib mencintai Allah dan orang-orang yang dicintai oleh-Nya seperti, para Malaikat, Rasul, Nabi, Shiddiqin, Syuhada dan Shalihin pada umumnya. Karenanya dikatakan, bahwa salah satu tanda keimanan yang meresap dalam sanubari adalah, hendaknya seseorang mencintai orang lain hanya semata-mata karena Allah.

Barangsiapa mencintai dan membenci karena Allah, memberi dan mencegah karena Allah, maka ia telah beroleh keimanan yang sempuma. Allah SWT berfirman, “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat kembalinya.” (QS. An- Nazi’at: 40-41). 

*Khutbah Masjidil Haram oleh Syekh Abdullah Ibnu Muhammad Al-Khulaifi, Khatib dan Imam Masjidil Haram

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement