REPUBLIKA.CO.ID, Sesungguhnya, seseorang itu tidak akan bisa mencapai hakekat iman, sehingga ia tidak mau lagi mencela aib orang lain yang ia juga terlibat melakukannya.
Dan hingga ia mau membetulkan dan membersihkan dirinya dari aib tersebut.
Orang yang telah melakukan ghibah, wajib bertakwa kepada Allah, bertaubat, dan menyesali perbuatannya, agar ia terbebas dari hak Allah.
Kemudian, ia harus meminta maaf kepada orang yang diumpatnya, sehingga ia terbebas dari perbuatan aniaya yang telah dilakukannya, dan ia harus menyesali perbuatannya di hadapannya.
Disebutkan juga dalam hadis shahih, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, "Barangsiapa telah berbuat aniaya kepada saudaranya, baik menyangkut masalah kehormatan maupun hartanya, maka ia harus meminta maaf kepadanya, sebelum datang suatu hari yang tiada berguna lagi padanya dinar dan dirham.”
“Bahkan diambil daripadanya kebaikan-kebaikannya. Jika ia tidak mempunyai amal baik, maka diambilnya kejelekan-kejelekannya (orang yang diumpatnya lalu ditambahkan pada kejelekan-kejelekan saudaranya (yang melakukan ghibah).”
Wahai hamba Allah, hati-hatilah terhadap perbuatan ghibah, namimah dan segala perbuatan yang diharamkan dan tercela. Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain.”
“Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang telah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguh-nya Allah Mahapenerima taubat lagi Mahapenyayang.” (QS. Al- Hujurat: 12).
* Khutbah Masjidil Haram oleh Syekh Abdullah Ibnu Muhammad Al-Khulaifi, Khatib dan Imam Masjidil Haram