Rabu 20 Jun 2012 19:01 WIB

Hukum Pembuktian Terbalik (1)

Rep: Nashih Nashrullah/ Red: Chairul Akhmad
Pembuktian terbalik (ilustrasi).
Foto: Blogspot.com
Pembuktian terbalik (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Ketika Abu Hurairah pulang dari Bahrain membawa uang sebanyak 4.000 dinar. Ia menghadap Khalifah Umar bin Khathab.

Umar menanyakan kepada salah satu sahabat perawi hadis itu apakah dia telah berlaku zalim terhadap seseorang.

Abu Hurairah menjawab tidak. Ketika mendapat pertanyaan lagi dari sang Khalifah, apakah Abu Hurairah telah mengambil hak orang lain? Kembali disangkalnya.

Umar pun menanyakan lagi, lantas berapa banyak yang dibawa oleh Abu Hurairah? Sahabat yang dikenal dekat dengan Rasulullah itu pun menjawab bahwa ia membawa 20 ribu dinar.

Umar bertanya, “Dari mana kau peroleh uang sebanyak itu?” Abu Hurairah menjawab, ia dapatkan fulus tersebut dari keuntungan berdagang.

Apa yang dilakukan Umar adalah salah satu bentuk membuktikan sumber dana seseorang. Dalam kisah di atas, Abu Hurairah membuktikan semua yang dipertanyakan kepadanya oleh Umar, sama sekali tidak benar. Pembuktian itu dilakukan secara langsung olehnya dengan menyebutkan sumber perolehan dana.

Dalam konteks lokal, kasus korupsi masih marak terjadi di Tanah Air. Acapkali, para pelaku korupsi melenggang begitu saja lepas dari dakwaan, atau divonis dengan hukuman yang ringan. Di sisi lain, pihak pengadilan beralasan tak cukup bukti untuk menjerat dan menetapkan tersangka sebagai terdakwa.

Di tengah kegelisahan terhadap dunia peradilan yang terkesan lemah dan ‘saktinya’ para pelaku korupsi itu, muncul wacana penerapan asas pembuktian terbalik. Bahkan, tak hanya terbatas pada para koruptor, tetapi juga para pelaku kejahatan penggelapan atau pencucian uang.

Asas tersebut menuntut seseorang yang diindikasikan telah melakukan kejahatan tersebut untuk membuktikan ketidakterlibatannya dalam tindak pidana yang dituduhkan. Namun, hingga kini gagasan itu belum mendapat sambutan yang serius.

Apalagi, ada asas lain yang dianggap menjadi batu sandungan bagi pelaksanaan pembuktian terbalik, yaitu asas praduga tak bersalah. Mungkinkah pembuktian terbalik diterapkan? Tak ada yang tak mungkin, selama ada komitmen dari para pemegang kebijakan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement