REPUBLIKA.CO.ID, Banyak Muslim di Timur Tengah akan menolak gagasan berbagi mesjid dengan Yahudi. Begitu pula sebaliknya, Yahudi di Israel atau di mana pun akan bereaksi dengan ketidaknyamanan serupa.
Dalam perkembangan terkini di Bronx, ada masyarakat yang tidak hanya menantang ekstremis, separatis dan tendensi di kalangan kaum Muslim dan Yahudi, namun juga memporak-porandakan pandangan yang umum dipegang Yahudi dan Muslim
Seorang kolumnis The Atlantic, Ed Husein sekaligus pengarang buku 'The Islamist' menuturkan jarang sekali dalam kunjungannnya ke negara bermayoritas Muslim lalu mendiskusikan Yahudi tanpa ada seseorang berkomentar negatif, mulai dari Yahudi secara umum kaya dan mewarisi kebencian terhadap Muslim.
Ia menilai kedua pandangan itu cacat, rasis dan secara historis tidak akurat. "Seperti halnya banyak Yahudi dan mereka yang meyakini bahwa Muslim juga memiliki kebencian dari dalam terhadap Yahudi, justru mencederai upaya mempromosikan pemahaman antar-keyakinan dan menonjolkan tendisi yang diingini ekstremis.
Ed menuturkan kisah komunitas Yahudi Ortodok di Amerika yang juga tak memiliki biaya demi untuk membangun sinagoga mereka. Akhirnya mereka diterima oleh teman lokal Muslim mereka untuk menggunakan masjid di saat tidak waktu shalat.
"Ini adalah persatuan di kalangan sepupu Ibrahi di New York, sebuah contoh di New York untuk mereka di Timur Tengah, bagaimana Yahudi dan Muslim dapat berlabuh satu sama lain tanpa gesekan dan tidak saling mempengaruhi keyakinan masing-masing," ujarnya.
Salah satu contoh dari kerjasama keagamaan adalah kepercayaan lebih besar dan sekutu politik potensial, di mana dalam perayaan besar keagamaan masing-masing, tempat itu bisa disulap menjadi masjid dan sinagoga oleh Yayasan Pemahaman Etnis, Masyarakat Islam Amerika Utara (ISNA) dan Masyarakat Yahudi Dunia/
"Peristiwa itu menandakan harapan dan harmoni yang menepis narasi ekstremisme dan tawaran terhadap model hubungan antara Yahudi dan Muslim di Timur Tengah," ujarnya.