Jumat 08 Dec 2017 08:30 WIB

Tiga Peran Strategis Ulama Banten

Rep: Marniati/ Red: Agung Sasongko
Masjid Agung Banten
Foto: Republika
Masjid Agung Banten

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Peletak dasar nilai keislaman di kawasan Sunda, termasuk Banten lama, ialah Nurullah dari Samudera Pasai. Beliau datang ke sana pada 1525 atau 1526 atas perintah Sultan Demak (Trenggono).

Kedatangan Nurullah atau Syarif Hidayatullah atau Fatahillah yang kemudian menajdi Sunan Gunung Jati di Jawa bagian barat itu dengan misi pertama penyebaran Islam (misi agama) dan kedua memperluas wilayah kekuasaan Demak (misi politik).

M Yahya Harun dalam Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI & XVII menjelaskan, kedudukan sultan-sultan Banten diakui bukan saja sebagai kepala pemerintahan yang memiliki otoritas tertinggi, tetapi juga sebagai kepala agama di wilayahnya.

Dengan demikian, lembaga-lembaga keagamaan mendapat perhatian, pengakuan serta perlindungan penuh dari sultan, terutama  ulamanya. Mereka termasuk kelompok kelas elite yang memiliki pengaruh besar terhadap jalannya pemerintahan atau masyarakat. Berikut tiga peran ulama pada masa Kerajaan Banten :

Islamisasi

Sepeninggal Sunan Gunung Jati, putranya, Hasanuddin, melanjutkan islamisasi. Capaian progresif pun berhasil ditorehkan. Ia membangun tempat-tempat ibadah (masjid agung Banten dan Pacinan) dan sarana pendidikan berupa pesantren di Kasunyatan.

Salah satu karya nyata dari kegiatan ilmiah di pesantren Kasunyatan ialah mushaf Alquran tulisan tangan yang tersimpan di cungkup makam Maulana Yusuf. Masjid Agung Banten bukan saja sebagai sarana ibadah, tetapi juga dakwah dan diskusi problematika umat antarulama saat itu.

Melawan Penjajah

Setelah Banten dikuasai Kompeni, sementara sultan tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menuruti kebijaksanaan Kompeni, muncullah pergerakan perlawanan serta pemberontakan yang terjadi di seluruh pelosok Banten.

Rata-rata pimpinan pergerakan perlawanan itu adalah ulama seperti Kiai Wakhia, Kiai Wasyid, dan lain sebagainya. Mereka itulah yang menyadarkan umat untuk merebut harga diri dan hak asasi rakyat Banten yang dirampas penjajah.

Suasana harmonis antara ulama dan umara berjalan dari masa ke masa, hingga terjadinya aneksasi Belanda atas Banten. Kesempatan ulama (kaum elite agama) berpartisipasi  dalam soal-soal kebijaksanaan pemerintah sudah tidak ada peluang, semuanya sudah diatur oleh Belanda.  Ulama Banten bangkit melawan Belanda.

Birokrat

Tidak sedikit kaum ulama yang ditempatkan di posisi terhormat dalam sistem administrasi negara, baik pusat maupun di tingkat lokal (daerah) di samping kelas administrasi sekuler, bahkan terdapat suatu lembaga tinggi pemerintah yang secara spesifik pengelolaannya diserahkan kepada kaum ulama yaitu Mahkamah Agung dengan gelar resminya Fakih Hajamuddin.

Di samping kaum elite agama yang terlibat langsung dalam kerangka sistem administrasi pemerintah, juga terdapat kelas elite agama partikelir (tidak memiliki kekuasaan dalam birokrasi pemerintah). Mereka juga mendapat perlindungan dari sultan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement