Senin 09 Apr 2018 11:40 WIB

Bangkitnya Banten dari Perang Saudara

Kesultanan Banten mulai giat menjalin kerja sama dengan para pedagang Eropa.

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Agung Sasongko
Pekerja membongkar muat  berbagai barang di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta, Sabtu (25/11).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Pekerja membongkar muat berbagai barang di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta, Sabtu (25/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kesultanan Banten mengawali abad ke-17 dengan keadaan yang cukup payah. Para sultan yang ada seakan tidak berdaya menghadapi infiltrasi Belanda dan Inggris. Hingga tahun 1609, negeri ini terpecah dalam perang saudara yang di dalamnya kalangan elite saling berebut kedudukan.


Kekacauan berakhir ketika Pangeran Ranamanggala naik takhta dengan menyingkirkan semua pesaingnya. Dia berambisi untuk mengambil kembali kontrol Banten atas pelabuhan-pelabuhan di pesisir utara Jawa.

Belanda menjawab ambisi tersebut dengan serangan besar-besaran atas Jayakarta pada 1619. Dengan pimpinan Jan Pieterszoon Coen, armada Belanda dapat merebut kota strategis ini dari kekuasaan Banten.

Sejak saat itu, Jayakarta berganti nama menjadi Batavia. Coen memiliki impian besar untuk daerah yang baru saja ditaklukannya itu. Dia ingin Batavia bertransformasi menjadi pusat kendali Belanda di seluruh Nusantara. Banten sudah mati, tetapi Batavia akan selalu abadi, demikian katanya.

Akan tetapi, dalam dekade-dekade berikutnya Banten mulai mampu menjawab tantangan zaman. Memang, sejak medio abad ke-17 kesultanan ini bersikap lebih terbuka terhadap kedatangan para pedagang dari pelbagai bangsa Eropa yang ingin mendirikan pos-pos di wilayahnya.

Di antara mereka adalah Belanda, Inggris, Prancis, Denmark, Portugis, dan Spanyol. Tambahan pula, sultan Banten mulai mengirimkan misi diplomatik ke pelbagai negeri Eropa, yang lebih me ngenal kerajaan ini dengan sebutan Bantam.

Claude Gullot merangkum beberapa bukti pengaruh Banten, sebagaimana tecermin dalam teks-teks Eropa. Kebanyakan penulis Barat saat itu menganggap Banten sebagai penguasa seluruh Pulau Jawa.

Dalam naskah drama karangan Ben Jonson, The Alchemist(1610), atau karya W Congreve Love for Love(1695), misalnya, negeri Banten digambarkan sebagai latar tempat narasi fiktif itu. Hal yang sama juga tampak dari karya-karya Big non, Aven tures d'Abdalla(1712), Aphra Behn The Court of the King of Banten(1685), serta novel Madeleine de Gomez yang berjudul La Princesse de Java.

Dalam abad ke-17 pula, Kesultanan Banten mulai giat menjalin kerja sama dengan para pedagang Eropa. Menurut Gullot, atas saran orang-orang Inggris, syahbandar Banten saat itu berupaya mewujudkan armada laut yang lebih efisien dan canggih, sebagaimana dimiliki bangsa-bangsa Eropa.

Sampai akhir 1660-an, sejumlah kapal besar milik Banten dibangun dengan cetak biru dari para perancang Inggris yang bekerja di Rembang. Kapal-kapal lainnya milik Banten dibeli dari perusahaan- perusahaan asal Armenia atau Jepang.

Ambisi Banten kian nyata untuk berjaya di Samudra Hindia. Bahkan, Gullot menyebutkan, demi meningkatkan relasi perdagangan, kesultanan ini mempunyai kedutaan besar di mancanegara, seperti Surat (India) atau London (Inggris).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement