Senin 09 Apr 2018 11:33 WIB

Dinamika Kesultanan Banten

Maulana Yusuf memerintah dengan penuh visi.

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Agung Sasongko
Masjid Agung Banten
Foto: Republika
Masjid Agung Banten

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Claude Gullot dalam The Sultanate of Banten menjelaskan, sejak 1550-an Kesultanan Banten mengalami perkembangan pesat. Maulana Yusuf memerintah dengan penuh visi.Kerajaannya mengalami banyak perbaikan, terutama mengenai sektor-sektor pertanian, irigasi, dan pelabuhan.


Pelbagai bendungan dan kanal dibangun untuk menghidupi desa-desa di Banten. Di samping itu, dia juga memerintahkan pendirian masjid-masjid di seluruh daerah kekuasaannya.

Penulis Kebesaran dan Tragedi Kota Banten, Heriyanti O Untoro, mengungkapkan fakta bahwa keberhasilan Banten sangat tergantung dari kultur lada dan pelabuhan. Memang, pada masa ini pelabuhan Banten merupakan salah satu bandar terbesar di Asia Tenggara.

Komoditas lada bersumber dari daerah pedalaman, utamanya Lampung yang telah menjadi wilayah Banten sejak era Sultan Hasanuddin. Untuk mendukung perdagangan lada, Sultan Banten membangun rupa-rupa infrastuktur, seperti benteng-benteng, gudang-gudang, jalan, dan pasar.

Letak pelabuhan Banten di tepi muara Sungai Cibanten menguntungkan perhubungan dengan daerah pedalaman di Jawa yang juga menjadi basis produksi lada. Pada masa itu, lada merupakan suatu rempah-rempah yang paling dicari para pedagang Eropa.

Di Benua Biru, harganya amat sangat tinggi, tetapi selalu laku. Hal ini kemudian tecermin dalam pembendaharaan kata dalam bahasa Belanda, peperduur (harfiah: `semahal lada'). Ungkapan semacam ini muncul karena masyarakat Eropa memandang lada sama berharganya dengan emas.

Akan tetapi, dalam era Maulana Yusuf pula muncul friksi di lingkungan istana.Pada 1580, dia mengembuskan napfas terakhir setelah menderita sakit keras.Perpecahan pun kian jelas.

Dengan membawa kekuatan militer pendukungnya, Pangeran Arya menuntut agar takhta diteruskan kepadanya. Dewan kadi Kesultanan Banten menolaknya sehingga Pangeran Muhammad, yang saat itu masih berusia sembilan tahun, tetap diangkat sebagai raja Banten. Gerakan Pangeran Arya ini pun gagal menuai dukungan sehingga dia terpaksa mengasingkan diri ke Jepara hingga akhir hidupnya.

Sejak menjadi raja muda, sang pangeran bergelar Maulana Muhammad.Sampai usianya beranjak dewasa pada 25 tahun, tampuk kepemimpinan dipegang Dewan Mangkubumi. Sementara itu, daerah kekuasaan Banten di Sumatra Selatan semakin bergejolak.

Kesultanan Banten menghadapi tantangan baru dari Kerajaan Palembang yang menguasai Pelabuhan Sungai Musi.Seandainya berhasil merebut bandar Sungai Musi, Banten dapat memulihkan pengaruhnya di Sumatra hingga Selat Malaka serta memastikan kelancaran lalu lintas ekspor lada atau gading.

Seperti dituturkan Prof Hamka, pada 1596 pecahlah perang besar antara Kesultanan Banten dan Kerajaan Palembang. Maulana Muhammad sendiri memimpin pasukannya ke Sumatra, sedangkan orang-orang Palembang dipimpin Ki Geding Suto. Sayangnya, penguasa Banten itu kemudian tewas dihantam peluru pasukan Palembang.

Ambisi untuk menduduki Pelabuhan Sungai Musi pun sirna. Pada tahun yang sama, Kesultanan Banten di Jawa menghadapi tantangan baru yang jauh lebih berbahaya. Kapten Belanda Cornelis de Houtman tiba di Banten setelah mengarungi Selat Sunda demi menghindari armada Portugis di Selat Malaka.

Claude Gullot menegaskan, tahun 1596 sebagai titik balik bagi Kesultanan Banten.Setelah Maulana Muhammad meninggal dunia, penggantinya ternyata masih berusia anak-anak. Pemerintahan untuk sementara dijalankan Dewan Mangkubumi.

Sultan Abul Mufakhir, demikian namanya, dalam tahap awal harus menghadapi perpecahan di tingkat elite. Di satu kubu, ada para loyalisnya, sedangkan di kubu lain orang-orang Istana bersekutu dengan kaum pedagang yang merasa tidak puas dengan kebijakan Banten selama ini. Oleh karena itu, kesultanan ini mengalami krisis politik 40 tahun lamanya.

Banten kemudian semata-mata menjadi penonton persaingan antara Belanda dan Portugis di Jawa yang hendak menguasai jalur maritim rempah-rempah.Pada 1601, kedua bangsa Eropa itu saling bertempur di Teluk Banten. Belanda tampil sebagai pemenang sehingga Portugis menyingkir dari Tanah Jawa.

Kemenangan Belanda ini cukup mengejutkan karena ekspedisi de Houtman sebelumnya telah ditangkal aliansi Banten dan para sultan Muslim di pesisir utara Jawa. Nasib pengelana ini pun berakhir tragis ketika kapal-kapalnya kalah bertempur dengan pasukan Inong Balee di Aceh. Pada 1599, Cornelis de Houtman tewas di tangan pahlawan perempuan Aceh, Malahayati. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement