Senin 09 Apr 2018 11:29 WIB

Peran Sunan Gunung Jati dan Jayanya Kesultanan Banten

Sunan memimpin aliansi Demak-Cirebon usir Portugis,

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Agung Sasongko
Sisa-sisa Keraton Surosowan dengan latar belakang menara masjid Banten.
Foto: Blogspot
Sisa-sisa Keraton Surosowan dengan latar belakang menara masjid Banten.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sunan Gunung Jati tampil di barisan terdepan. Berbeda dengan keba nyakan wali sanga, dia bukan sekadar alim, melainkan juga pemimpin politik (amir). Kekuasaannya di Cirebon bermula se telah berhasil menyebarkan Islam di wi layah-wilayah Banten.

Dia kemudian me menuhi panggilan adipati Cirebon saat itu yang juga kerabatnya sendiri. Adapun per kembangan dakwah di Banten untuk semen tara diamanatkan kepada putranya, Hasanuddin.


Sunan Gunung Jati naik menggantikan adipati sebelumnya sebagai penguasa Ci rebon. Selama menduduki jabatan di Ke ra ton Pa kungwati, dia meningkatkan ke kuat an maritim armada Cirebon. Di samping itu, sen tra-sentra Islam juga dibangunnya, an tara lain berupa Masjid Merah Panjunan (1480) dan Masjid Agung Sang Cipta Rasa (1500).

Menurut Prof Hamka, ada motif lain dari keputusan adipati Cirebon itu untuk mengusir Portugis. Sejak 1521, bangsa Ero pa itu menjajah Pasai, yang tidak lain merupakan kota kelahiran Sunan Gunung Jati.

Oleh karena itu, semangatnya kian berkobar untuk mengalahkan Portugis. Pertama-tama, dia meningkatkan kerja sama dengan pusat kedaulatan Islam di Pulau Jawa saat itu, Kesultanan Demak, yang dipimpin Sultan Trenggono.

Di lapangan, muncul sosok Fatahillah yang memimpin aliansi Cirebon-Demak.Beberapa sumber menyebutkan panglima asal Pasai ini masih berkerabat dengan Sunan Gunung Jati.

Pada akhir 1526, pasukan Fatahillah dapat menaklukkan Banten. Putra Sunan Gu nung Jati, Hasanuddin, menjadi wali penguasanya. Satu tahun kemudian, Fata hillah mulai bergerak menyerang basis Portugis di Sunda Kelapa.

Pasukan yang dipimpin Fransisco de Sa itu harus mengakui kekalahan. Sejak 22 Juni 1527, Sunda Kelapa berganti nama menjadi Jayakarta (harfiah: `kemenangan besar'). Nama ini dipilih untuk menandai ke unggulan bangsa Pribumi atas penjajahan asing. Sampai sekarang, tanggal tersebut diperingati sebagai hari lahir DKI Jakarta.

Sejak keberhasilan mengusir Portugis dan menaklukkan Pajajaran, daulat Islam mulai berdiri kukuh di Banten. Pada 1552, putra Sunan Gunung Jati, Hasanuddin, naik takhta menjadi Sultan Banten I.

Sementara itu, Kesultanan Demak mulai melemah akibat intrik politik di lingkungan istana. Untuk menghindari polemik, sejak 1568 Banten bukan lagi kadipaten di bawah Demak sehingga menjadi kesultanan yang mandiri.

Demikianlah, hingga belasan tahun kemudian Sultan Hasanuddin berhasil membawa Banten sebagai poros maritim yang jaya dan disegani di seluruh Pulau Jawa dan Nusantara umumnya. Di bawah kepemimpinan sosok yang bergelar Panembahan Surasowan ini, wilayah Banten mencakup Selat Sunda, Lampung, dan sebagian Bengkulu.

Hamka menuturkan, pelabuhan-pe labuhan Banten selalu ramai dikunjungi para saudagar dari mancanegara. Hasil bumi yang dikendalikan Banten menjadi ko moditas unggulan, seperti lada, kayu cendana, atau gading.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement