Selasa 24 Jul 2018 15:20 WIB

Siapakah Amil Zakat?

Apa Kriterianya menjadi amil zakat menjadi perhatian ulama.

Petugas Badan Amil Zakat Nasional,melayani warga yang  datang ke kantor Baznas Tebet, Jakarta, Selasa (26/6).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Petugas Badan Amil Zakat Nasional,melayani warga yang datang ke kantor Baznas Tebet, Jakarta, Selasa (26/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembahasan tentang amil zakat menjadi perhatian para ulama. Karena, amil zakat disebutkan dalam golongan orang-orang yang berhak mendapat bagian zakat. Seperti tertera jelas dalam surah at-Taubah ayat 60.

Sehingga, perlu ada orang-orang yang secara khusus menjadi amil untuk mengelola zakat. Kewajiban ini juga perintah Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadis dari Ibnu Abbas, Nabi Muhammad SAW ketika mengutus Muadz ke Yaman bersabda, “Dan beritahukan kepada mereka jika Allah SWT mewajibkan zakat yang diambil dari harta orang kaya diantara mereka dan dikembalikan kepada orang fakir diantara mereka.”

(HR Bukhari Muslim).

Seorang tabiin, Ibnu al-Saidi berkata, “Umar RA menugaskan kepadaku untuk mengurus harta zakat maka tatkala selesai tugasku, beliau memberiku bagian dari harta zakat tersebut. Aku berkata, ‘Sesungguhnya aku melakukan semua ini karena Allah SWT.’ Umar membalas, ‘Ambillah apa yang diberikan sebagai bagianmu, sesungguhnya aku juga menjadi amil zakat pada masa Rasulullah...” (Riwayat Muslim).

Dalam kaidah fikih, disebutkan hukum sarana mengikuti hukum capaian yang akan dituju. Sehingga saat hukum zakat wajib, sarana untuk mencapai pengumpulan zakat juga wajib.

Kemudian terkait kriteria amil zakat, beberapa ulama mempunyai beberapa definisi. Sayyid Sabiq berkata amil zakat adalah orang yang diangkat penguasa untuk mengumpulkan zakat dari orang kaya. Termasuk dalam kategori amil adalah orang yang menjaga zakat, penggembala hewan ternak zakat, dan juru tulis yang bekerja di kantor zakat.

Abu Bakar al-Hushaini berpendapat bahwa amil zakat adalah orang yang ditugaskan pemimpin negara untuk mengambil zakat kemudian disalurkan kepada yang berhak.

Syekh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin mengatakan yang disebut amil adalah orang yang diangkat penguasa untuk mengambil zakat dari orang yang berkewajiban.

Ibnul Qosim dalam fathul qarib menjelaskan amil merupakan orang yang ditugaskan oleh imam untuk mengumpulkan dan mendistribusikan harta zakat. Imam Nawawi menambahkan, yang termasuk amil, yakni orang yang mengumpulkan, mendata, mencatat, membagi, dan menjaga harta zakat.

Al-Syairazi dalam al-Muhadzdzab menambahkan bahwa amil mendapat bagian zakat sebagai upah sesuai kewajaran. Jika ia menerima lebih besar dari kewajaran maka kelebihannya disalurkan kepada tujuh golongan mustahik yang lain.

Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Prof Didin Hafidhudin mengatakan yang disebut amil adalah orang yang bekerja penuh dalam mengelola zakat. Artinya jika mengelola zakat hanya dijadikan sambilan, ia tidak berhak disebut amil.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) merinci dalam fatwanya yang disebut amil zakat, seorang yang diangkat pemerintah untuk mengelola pelaksanaan ibadah zakat atau kelompok yang dibentuk masyarakat dan disahkan pemerintah untuk mengelola pelaksanaan ibadah zakat. Dari definisi tersebut, tetap ada peran pemerintah untuk menunjuk atau mengesahkan seseorang yang disebut amil.

Syarat-syarat amil, menurut MUI, harus beragama Islam, mukalaf, amanah, dan memiliki ilmu pengetahuan tentang hukum zakat.

Mengenai dana operasional amil, MUI mengharuskan pemerintah yang menyediakan dana operasional untuk amil zakat. Jika dana yang disediakan pemerintah tidak cukup maka bisa mengambil dana dari zakat sebagai jatah amil dalam batas kewajaran.

Amil juga tidak boleh menerima bagian dari zakat jika ia sudah digaji oleh negara atau lembaga swasta. Jika tidak menerima gaji ia boleh mendapat upah dari bagian zakat sesuai batas kewajaran. Amil juga tidak boleh menerima atau memberi hadiah untuk muzaki dalam tugasnya. Terlebih, diambil dari dana zakat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement