Ahad 23 Nov 2025 21:58 WIB

Amanah Agung Ali bin Abi Thalib, Mengapa Kursi Pemimpin Tak Boleh Kosong dari Orang Mulia?

Ali bin Abi Thalib menjelaskan amanah pemimpin.

Rep: Fuji Eka Permana/ Red: Erdy Nasrul
Ilustrasi sahabat nabi yang kerap melewati gurun pasir.
Foto: .free-extras.
Ilustrasi sahabat nabi yang kerap melewati gurun pasir.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam pandangan Khalifah Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, kepemimpinan bukanlah sekadar sebuah jabatan formal, melainkan sebuah amanah agung yang memikul tanggung jawab besar. Tanggung jawab itu mencakup kehormatan perempuan, keselamatan jiwa, keamanan harta, dan tegaknya hukum di tengah umat.

Karena urgensi peran tersebut, menurut beliau, kursi kepemimpinan tidak boleh jatuh ke tangan sembarang orang, seperti orang yang kikir, bodoh, kasar, pengecut, atau mereka yang tega menjual hukum demi suap semata.

Baca Juga

Bagi Ali bin Abi Thalib, seorang pemimpin sejati memulai setiap perubahan besar dari dirinya sendiri. Ia mendisiplinkan jiwanya, memperbaiki akhlaknya, dan menampilkan keteladanan yang nyata sebelum mencoba mengajarkan atau menuntut apapun dari rakyat yang dipimpinnya.

Berikut adalah nasihat mendalam dari Ali bin Abi Thalib terkait kriteria seorang pemimpin, yang dikutip dari buku Imamul Muhtadin karya HMH Al-Hamid Al-Husaini. "Pimpinan yang bertanggung jawab atas kehormatan kaum wanita, keselamatan jiwa, keamanan harta benda, tegaknya hukum dan keimanan umat Islam, maka kepemimpinan itu tidak boleh berada di tangan orang yang kikir karena ia akan mengincar kekayaan mereka (rakyat) demi memperkaya diri sendiri."

"(Jabatan pemimpin itu) juga tidak boleh berada di tangan orang bodoh, karena dengan kebodohannya ia hanya akan menyesatkan mereka (rakyatnya) dari jalan yang benar. (Jabatan pemimpin itu) tidak boleh di tangan orang berperangai kasar, karena sikapnya yang keras akan membuat ia dijauhi mereka (rakyatnya)."

"(Jabatan pemimpin itu) tidak boleh di tangan pengecut, karena ia akan merangkul satu golongan dan meninggalkan golongan yang lain demi keselamatan dirinya. (Jabatan pemimpin itu) tidak boleh di tangan orang yang suka menerima suap, karena ia akan menghilangkan hak-hak umat yang dipimpinnya. (Jabatan pemimpin itu) dan tidak boleh berada di tangan orang yang mengabaikan sunah, karena tindakannya akan mencelakakan umat."

"Siapapun yang hendak menjadikan dirinya sebagai pemimpin hendaklah ia mendidik dirinya sendiri lebih dulu sebelum mendidik orang lain. Hendaklah ia mendidik dengan contoh amal dan perilaku nyata lebih dulu sebelum mendidik dengan lidah dan ucapan semata. Orang yang mampu mengajar dan mendidik dirinya sendiri lebih patut dihormati dan didengarkan daripada orang yang hanya dapat mengajar dan mendidik orang lain."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement