REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia bersama Center for International Relations Studies (CIReS) dan Human Initiative menggelar diskusi publik bertajuk “Ruang Gelap Distribusi Bantuan Kemanusiaan di Tengah Gencatan Senjata” di Auditorium Komunikasi FISIP UI, Depok, Kamis (20/11/2025).
Diskusi ini menyoroti peliknya penyaluran bantuan kemanusiaan ke Gaza meski gencatan senjata diumumkan, sekaligus memetakan tantangan yang perlu dijawab Indonesia dalam kontribusi kemanusiaan.
Ketua Departemen Hubungan Internasional FISIP UI Broto Wardoyo menegaskan isu kemanusiaan harus ditempatkan di atas identitas agama dan etnis. Menurutnya, solidaritas terhadap warga Gaza tidak boleh terjebak dalam justifikasi politik ataupun euforia simbolik semata.
“Kemanusiaan itu tidak akan ada label agama, tidak akan ada label etnis, karena kita meletakkan diri sebagai orang yang sama, yang labelnya sama, sama-sama manusia,” ujarnya dalam sambutannya.
Broto mengingatkan agar rencana pengiriman pasukan stabilisasi ke Gaza dipikirkan matang agar tidak menimbulkan kegaduhan atau memperburuk keadaan di lapangan. Ia mendorong agar diskusi-diskusi akademik seperti ini dapat diteruskan kepada para pemangku kebijakan demi memperkuat dorongan diplomatik Indonesia.
“Apalagi kan besok kita mau kirim pasukan ke sana, jadi harus dipikirkan betul-betul. Jangan sampai nanti pasukannya malah menimbulkan kegaduhan atau membuat masyarakat yang ada di sana makin sulit. Jangan sampai ada justifikasi politik yang kuat bahwa kita sepertinya melakukan sesuatu yang positif, tapi dia akan menambahkan penderitaan,” ucapnya.
Dalam sambutan pengantarnya, Vice President Human Initiative Bambang Suherman, memaparkan empat tantangan besar distribusi bantuan ke Gaza. Pertama, akses yang hampir mustahil karena blokade berlapis dari berbagai pintu masuk—baik Rafah, Kairo, maupun Yordania.




