Kamis 30 Oct 2025 09:15 WIB

Ketika Syekh Muhammad bin Alawy Hadapi Tekanan Politik

Penguasa saat itu melarang Syekh Muhammad mengajar di Masjidil Haram.

(ilustrasi) Syekh Muhammad bin Alawy
Foto: tangkapan layar wikipedia
(ilustrasi) Syekh Muhammad bin Alawy

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perhatian Syekh Muhammad bin Alawy tercurah pada kepentingan agama dan umat, alih-alih diri sendiri. Ada satu peristiwa yang membuktikan keteguhan sikap ulama besar ini.

Suatu ketika, penguasa politik di Arab Saudi pernah melarangnya mengajar di Masjidil Haram. Kedudukannya sebagai profesor di Universitas Umm Al-Qura (Makkah) pun dicabut.

Baca Juga

Tidak hanya itu, kitab-kitab karyanya juga dilarang beredar di tengah publik. Semua itu terjadi di tanah airnya sendiri hanya karena pandangannya yang moderat dianggap tidak sesuai dengan pandangan rezim yang sedang berkuasa.

Sebabnya adalah sebuah karyanya, Mafahim Yujibu an-Tusahhah. Ini menjadi tantangan dalam pandangan kaum Salafi-Wahhabi lantaran membuktikan kekeliruan doktrin-doktrin mereka dengan menggunakan sumber-sumber dalil yang kuat. Karena keberanian intelektualnya ini, Syekh Muhammad bin Alawy dikucilkan. Ia pun dicekal dari kedudukannya sebagai pengajar di Masjidil Haram, Makkah.

Padahal, reputasi Syekh Muhammad dan bahkan keluarganya yang begitu tinggi. Ulama kelahiran Makkah itu telah berpengalaman sebagai guru di Masjidil Haram sejak masih belia.

Pada usia 15 tahun, dia diperbolehkan untuk mengajar sesama murid di sana lantaran telah menguasai beberapa kitab kunci ilmu-ilmu agama. Kepiawaiannya mengikuti jejak sang ayah dan kakeknya, serta datuk-datuknya terdahulu.

Mereka semua dikenang sebagai ulama-ulama yang aktif dalam transmisi keilmuan turun temurun di masjid yang kiblat Muslimin sedunia itu. Demikianlah keunggulan klan al-Hasani, golongan sayyid keturunan Nabi Muhammad SAW dari garis Hasan bin Ali bin Abi Thalib.

Publik sesungguhnya kurang bisa menerima keputusan pemerintah setempat. Rezim yang menghentikan karier Syekh Muhammad bin Alawy.

Akan tetapi, ulama ahlus sunnah wa al-jama’ah itu menerimanya dengan sabar. Mubaligh bermazhab Maliki ini juga tidak berkeluh-kesah atau menampakkan raut amarah. Dia tetap tenang dan santun.

Dengan reputasi kapasitas keilmuan dan akhlak mulianya di tengah masyarakat, dia kemudian mendirikan majelis di rumahnya sendiri yang terletak dekat Makkah.

Tepat di depan kediamannya tersebut, ada sebuah masjid dengan daya tampung yang cukup besar. Setiap acara kajian ilmu-ilmu agama yang diadakannya selalu ramai hadirin.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Online (@republikaonline)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement