Selasa 19 Aug 2025 16:11 WIB

Revisi UU Haji, Komnas: Terlalu Banyak Adopsi Aturan Kemenag, Harus Lebih Fleksibel

Komnas Haji usul ketentuan di Revisi UU Haji lebih fleksibel.

Mustolih Siradj Ketua Komnas Haji dan Umrah, Dosen Fakultas Syariah & Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Foto: Republika/Idealisa Masyrafina
Mustolih Siradj Ketua Komnas Haji dan Umrah, Dosen Fakultas Syariah & Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komnas Haji mengusulkan agar berbagai ketentuan yang dimuat dalam revisi atau Rancangan Undang-undang tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (RUU Haji) lebih bersifat fleksibel dibandingkan undang-undang yang sebelumnya.

"Saya lihat undang-undang ini terlalu banyak mengadopsi aturan-aturan di Peraturan Menteri Agama dan Dirjen Kemenag sehingga fleksibilitasnya saya kira perlu didorong lebih fleksibel," kata Ketua Komnas Haji Mustolih Siradj saat menjadi narasumber dalam Forum Legislasi bertajuk "Revisi UU Haji demi Meningkatkan Kualitas Pelayanan dan Pengelolaan Ibadah Haji" yang digelar di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa.

Baca Juga

Menurut Mustolih, fleksibilitas itu di antaranya adalah RUU Haji sepatutnya dibuat agar dapat terus beradaptasi dengan dinamika pelaksanaan ibadah haji yang ditetapkan oleh Pemerintah Arab Saudi.

Ia menilai, saat ini draf RUU Haji menunjukkan hal-hal yang diatur masih bersifat Indonesia sentris atau didasarkan pada keadaan di tanah air. Padahal, harusnya beragam hal yang diatur dalam RUU itu menyesuaikan dengan keadaan terkini di Arab Saudi.

"Bisa saya katakan kalau kemudian semangat ini tidak ada relaksasi, integrasi antara undang-undang kita dengan aturan-aturan yang ada di Saudi, siapa pun yang mengelola, bertanggung jawab terhadap persoalan haji, baik Kementerian Agama maupun BP Haji, itu rentan berhadapan dengan kasus hukum karena UU terlalu kaku," kata dia menjelaskan.

Mustolih mencontohkan aturan yang tidak fleksibel adalah terkait dengan kuota haji. Penentuan kuota haji yang tidak menggunakan kata maksimal atau minimal berpotensi menimbulkan kuota yang tidak terserap. Saat ini, diketahui kuota haji dibagi menjadi 92 persen kuota untuk jamaah haji reguler dan 8 persen kuota untuk jamaah haji khusus.

Menurut Mustolih, pembagian seperti itu berpotensi menimbulkan kuota yang tidak terserap karena calon jamaah haji dapat dihadapkan pada beragam kondisi, seperti wafat, sakit parah, ataupun hamil.

"Ini akan sulit diimplementasikan karena pasti dalam penyelenggaraan haji ada kuota tidak terserap karena ini manusia, bisa dia meninggal, hamil, sakit, bisa dia ada hambatan lain. Maka kalau tidak terserap, itu akan melanggar aspek besaran kuota itu," kata dia.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement