REPUBLIKA.CO.ID, MAKKAH -- Menjelang puncak haji di Arafah, umat Islam khususnya yang berhaji, akrab dengan istilah safari wukuf. Safari Wukuf merujuk pada program layanan dari pemerintah Indonesia bagi jamaah haji lansia ataupun yang sakit parah.
KH Ahmad Kartono, praktisi haji yang juga mantan Direktur Bina Haji di Kementerian Agama menjelaskan soal sejarah safari wukuf. Menurutnya, penyelenggaraan ibadah haji 1985 memunculkan terobosan baru. Sebuah ijtihad dari pemerintah Indonesia yang kemudian diikuti oleh banyak negara lainnya.
Ijtihad itu bernama safari wukuf. Waktu itu, banyak jamaah haji asal Indonesia yang sakit dan uzur sehingga tak kuat untuk pergi ke Arafah untuk wukuf. Sementara, wukuf di Arafah adalah salah satu rukun haji yang tidak bisa digantikan dengan denda sekalipun. Jika jamaah tidak wukuf, maka tidak berhaji.
Karena itu, pemerintah Indonesia dan ulamanya saat itu membuat ijtihad diperbolehkannya safari wukuf. Yaitu, membawa jamaah haji yang dirawat di rumah sakit Indonesia ke wukuf dengan menggunakan ambulans.
"Karena cara seperti ini dapat memudahkan mereka. Jamaah yang sakit bisa menikmati pelaksanaan wukuf di Arafah," kata KH Ahmad Kartono kepada Republika pada musim haji 2019 lalu.
Menurut Kiai Ahmad yang juga menjadi konsultan ibadah haji PPIH Arab Saudi 2019 itu, secara hukum pelaksanaan safari wukuf dibenarkan dari sisi syariat. Karena, lokasi safari wukuf merupakan bagian dari wilayah Arafah.
"Walaupun hanya sesaat, ini sah menurut hukum," kata Kiai Ahmad.
