Selasa 27 May 2025 14:54 WIB

Lawan Kesenjangan Sosial, Qurban Jadi Cara Cerdas Kendalikan Ego Konsumtif

Kurban bukan hanya menyembelih hewan semata, tapi juga mengorbankan sisi konsumtif.

Dompet Dhuafa menyalurkan amanah kurban dari donatur.
Foto: dompet dhuafa
Dompet Dhuafa menyalurkan amanah kurban dari donatur.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Bagi umat Islam, qurban adalah ibadah sebagai simbol kerelaan untuk melepaskan hal-hal duniawi demi nilai-nilai spiritual yang lebih tinggi. Namun, di zaman modern yang diselimuti dengan budaya konsumtif, makna qurban ini terasa makin relevan untuk direfleksikan secara lebih luas.

Esensinya, qurban bukan hanya sebatas menyembelih hewan semata, tapi juga mengorbankan sisi konsumtif dalam diri kita, yaitu gaya hidup berlebihan yang tanpa sadar telah merusak lingkungan, meminggirkan kaum lemah, dan menciptakan jurang kesenjangan sosial.

Qurban telah menjadi simbol pengendalian nafsu. Dalam tradisinya, qurban dilakukan dengan memilih hewan terbaik untuk disembelih. Ini adalah simbol bahwa untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, kita harus berani “menyembelih” apa yang kita cintai, seperti harta, status, bahkan kenyamanan diri.

Qurban dengan menyembelih hewan ternak juga dapat dimaknai sebagai penyembelihan sifat hewani, ego konsumtif, gaya hidup boros energi, makanan, dan barang yang mendorong eksploitasi alam. Jika di masa lalu, Nabi Ibrahim diuji untuk mengorbankan anaknya, maka di masa kini, kita diuji untuk mengorbankan kenikmatan duniawi yang menimbulkan kesenjangan sosial.

photo
Kurban di Dompet Dhuafa mengajarkan kita, bahwa harta terbaik bukan untuk ditumpuk, tetapi untuk dibagikan. - (dompet dhuafa)

Laporan Global Footprint Network menunjukkan bahwa manusia kini mengonsumsi sumber daya alam 1,7 kali lebih cepat dari kapasitas regenerasi bumi. Artinya, gaya hidup kita hari ini sedang mengorbankan masa depan generasi yang akan datang. Ironisnya, banyak dari konsumsi itu didorong bukan oleh kebutuhan, tetapi oleh budaya pamer dan dorongan psikologis untuk merasa lebih dari orang lain.

Tebar Hewan Kurban (THK) Dompet Dhuafa datang sebagai sarana untuk menantang arus besar ini. Kurban di Dompet Dhuafa mengajarkan kita, bahwa harta terbaik bukan untuk ditumpuk, tetapi untuk dibagikan. Kenikmatan sejati bukan pada berapa banyak yang kita miliki, tetapi berapa besar manfaat yang kita tebarkan.

Beberapa pihak pun kini mulai mengaitkan ibadah qurban dengan misi keberlanjutan, termasuk program Tebar Hewan Kurban (THK) yang digagas Dompet Dhuafa. Program ini tak hanya mendistribusikan daging qurban ke wilayah defisit, tetapi juga memberdayakan peternak kecil secara ekonomi, bukan peternakan massal yang eksploitatif.

Selain itu juga THK mendorong pola qurban yang lebih adil, bukan menumpuk di kota-kota besar saja. Melalui jaringan-jaringan cabang dan mitra Dompet Dhuafa di pelosok-pelosok daerah, THK juga mampu menghidupkan ekonomi di pedesaan tanpa harus memperbesar jejak karbon secara masif. Dengan skema ini, kurban menjadi lebih dari ritual. Kurban menjadi alat transformasi sosial sekaligus komitmen ekologis global.

Meski begitu, mengaitkan kurban dengan pengorbanan gaya hidup konsumtif bukan berarti menolak kemajuan atau menafikan kenikmatan hidup. Justru, ini adalah ajakan untuk mengubah orientasi konsumtif dari sekadar memuaskan diri menjadi lebih bermanfaat bagi banyak pihak. Artinya, membelanjakan harta yang dimiliki itu boleh, asalkan bukan hanya untuk memuaskan nafsu diri, melainkan untuk bermanfaat bagi orang lain.

Oleh itu, Iduladha seharusnya memantik kita untuk membentuk ulang gaya hidup sehari-hari. Setiap daging qurban yang kita bagikan, setiap peternak yang kita berdayakan, setiap anak pelosok yang tersenyum menerima daging segar, semua itu adalah buah dari keberanian kita dalam berqurban dan juga mengorbankan diri yang lama menuju diri baru yang lebih peduli dan berkeadilan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement