REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada era Kekhalifahan Abbasiyah, ada suatu periode yang sarat bahaya, khususnya bagi kaum intelektual. Sejarawan menamakan fase itu sebagai Era Mihnah.
Secara kebahasaan, kata mihnah berakar dari mahana, yumhinu. Artinya, ‘cobaan’, ‘ujian’, atau ‘bala.’ Dalam fase tersebut, terjadilah gelombang persekusi yang dilakukan penguasa Abbasiyah.
Sebab, kalangan istana kala itu cenderung fanatik terhadap pemikiran Mu’tazilah. Para khalifah pun menindas siapapun, termasuk ulama-ulama besar, yang tidak sejalan dengan aliran tersebut. Salah satu pokok pembeda kala itu adalah dukungan atau penolakan terhadap status “makhluk” pada Alquran.
Bagi kaum Mu’tazilah, Alquran adalah makhluk karena dianggapnya sebagai bukan Zat Allah. Namun, bagi alim dari ahlus sunnah wal jama’ah, Alquran jelas-jelas adalah Kalamullah.
Salah seorang alim yang menjadi sasaran fitnah dan persekusi di Era Mihnah adalah Imam Bukhari. Kisahnya diceritakan Imam Muslim dalam bagian mukadimah Shahih Muslim.
Pada suatu ketika, penulis Shahih Bukhari itu berkunjung ke daerah kampung halamannya, Bukhara, setelah mengalami penolakan dari para penguasa lokal Naisabur, Persia. Ia ditolak karena tidak mendukung pemikiran pro-Mu’tazillah.
Ternyata, Bukhara pun dilanda prokontra topik “kemakhlukan” Kitabullah. Dan, kota di kawasan Transoxiana, Asia tengah, itu sedang dipimpin Khalid bin Ahmad az-Zihli. Gubernur tersebut dikenal mencari muka di hadapan khalifah Abbasiyah.
View this post on Instagram