REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sudah merupakan ketentuan Illahi, semua ibadah dalam Islam menyimpan berbagai hikmah nan mulia. Hikmah itu ada yang bersifat lahir, bisa diketahui setiap Mukmin, dan ada pula yang tersembunyi, hanya diketahui oleh orang-orang alim yang rasikh (mendalam ilmunya).
Haji termasuk ibadah yang hikmahnya bisa dilihat secara kasat mata, seperti pengorbanan dengan harta dan jiwa, kepedulian pada sesama, dan lain sebagainya. Selain itu, haji pun memiliki banyak hikmah yang sulit kita indra, kecuali oleh para khawwas (ulama istimewa).
Haji mabrur atau diterima oleh Allah SWT adalah haji yang dilaksanakan secara sempurna dengan memenuhi semua syarat, wajib, dan rukunnya. Tidak ada rafats (bersebadan, omong kotor atau jorok), fusuq (kedurhakaan atau pelanggaran terhadap ajaran agama Allah), dan tidak ada jidal (bantah-bantahan) selama ibadah tersebut.
"(Musim) haji itu (pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi. Barangsiapa mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, maka janganlah dia berkata jorok (rafats), berbuat maksiat dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji. Segala yang baik yang kamu kerjakan, Allah mengetahuinya. Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat!" (QS al-Baqarah: 197).
“Barang siapa yang melakukan ibadah haji karena Allah kemudian tidak berkata kotor dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan fasik atau durhaka, ia akan pulang tanpa dosa sebagaimana ketika ia dilahirkan ibunya" (Muttafaq 'alaih).
Ibadah haji bila ditunaikan dengan syarat, rukun, wajib dan sunahnya secara baik akan menghasilkan Muslim bertakwa yang mencerminkan keindahan dalam semua sepak terjangnya. Sasaran utama haji adalah membersihkan diri dari syirik dan perangai tercela, menghiasi diri dengan akhlak terpuji, serta membekalinya dengan takwa.
