REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tragedi Karbala terjadi pada tahun 61 Hijriah atau bertepatan dengan 10 Oktober 680 M. Ini tak hanya mengguncang umat Islam pada saat itu, tetapi juga meninggalkan luka sejarah yang dalam hingga kini.
Dalam peristiwa nahas itu, seorang cucu Nabi Muhammad SAW, yakni Husain bin Ali, syahid secara tragis. Ia gugur bersama dengan nyaris seluruh anggota keluarganya, dan juga para pengikutnya. Mereka dibantai oleh tentara yang pro-Dinasti Umayyah.
Adalah Ali, yakni putra Husain, yang selamat dari pembantaian itu. Cicit Rasulullah SAW dan juga anak lelaki satu-satunya Husain itu di kemudian hari lebih dikenal dengan nama Zainal Abidin.
Sewaktu Insiden Karbala terjadi, usianya masih 13 tahun. Ia lolos dari target pembunuhan karena dirinya sedang sakit sehingga tak membersamai sang ayah.
Usai Tragedi Karbala, Ali Zainal Abidin bin Husain memilih menetap di Madinah. Ia tekun belajar agama Islam kepada para sahabat Rasulullah SAW yang masih hidup.
Sejak masa dewasanya, ia fokus pada belajar. Dirinya juga menghindari kegiatan-kegiatan politik, termasuk yang menentang kekuasaan Dinasti Umayyah.
Dalam keyakinannya, pertentangan politik telah banyak mengorbankan rasa persatuan dan persaudaraan umat (ukhuwah Islamiyah). Padahal, yang mesti diupayakan adalah jalan ihsan dan islah.
Sekitar tiga dekade lamanya, Zainal Abidin menjadi alim yang amat dihormati. Ia mengajarkan ilmu-ilmu agama di Masjid Nabawi, Madinah. Ratusan orang datang dari berbagai penjuru untuk belajar kepadanya.
View this post on Instagram