REPUBLIKA.CO.ID, COX'S BAZAR — Pemerintahan junta militer Myanmar dilaporkan telah mengonfirmasi pemenuhan syarat pemulangan 180 ribu pengungsi Rohingya dari kamp pengungsi Cox's Bazar, Bangladesh,ke Myanmar. Keterangan tersebut disampaikan di sela Konferensi Tingkat Tinggi Inisiatif Teluk Bengala untuk Kerjasama Teknis dan Ekonomi Multi Sektoral (KTT BIMSTEK) ke-6 di Bangkok, Thailand, pada 3 April 2025 lalu, dilaporkan laman rohingyakhobor.
Dalam pertemuan tingkat tinggi tersebut, otoritas Myanmar secara resmi mengonfirmasi bahwa 180.000 pengungsi Rohingya yang berlindung di Bangladesh memenuhi syarat untuk dipulangkan. Meski menjadi momen penting dalam krisis pengungsi yang berkepanjangan, pemulangan tersebut memicu kekhawatiran dan kritik baru di antara para pemimpin dan aktivis Rohingya, yang berpendapat bahwa masalah inti masih belum terselesaikan.
U Than Shew, Wakil Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Myanmar, menyampaikan kesiapan pemulangan kepada Dr. Khalilur Rahman, Perwakilan Tinggi Penasihat Utama Bangladesh. Nama-nama tersebut termasuk dalam daftar yang diajukan oleh Bangladesh dalam enam gelombang terpisah antara tahun 2018 dan 2020, yang berisi rincian sekitar 800.000 pengungsi Rohingya.
Meskipun pengumuman tersebut dinilai membawa angin segar, banyak pengungsi Rohingya khawatir bahwa langkah ini tidak memiliki kemauan politik yang diperlukan, jaminan keamanan, dan mekanisme pemulihan kewarganegaraan yang harus menyertai setiap pemulangan.
Raja Maung, Direktur Eksekutif Asosiasi Pemuda Rohingya (RYA), menyambut baik pembaruan tersebut. Hanya saja, Maung menekankan bahwa jumlah pemulangan semata bukanlah prioritas.
“Kami tidak bertanya berapa banyak yang akan kembali. Kami bertanya bagaimana mereka akan kembali. Jika kami dipulangkan tanpa tanah, hak, atau pengakuan, itu bukan pemulangan—itu penganiayaan ulang,” katanya. “Kami menginginkan keadilan, keamanan, dan tempat kami di Arakan.”