REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Raja Abdullah II dari Yordania pada Selasa (4/3/2025) dengan tegas kembali menolak segala upaya untuk menggusur warga Palestina dari Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Berbicara dalam KTT darurat Arab di Kairo, Raja Abdullah II menegaskan bahwa Yordania “menolak sepenuhnya segala upaya untuk memindahkan warga Palestina di Tepi Barat dan Gaza serta mencaplok wilayah, yang merupakan pelanggaran nyata terhadap hukum internasional dan hukum humaniter internasional.”
Ia juga menekankan dukungan Yordania terhadap rencana rekonstruksi Gaza, yang menurutnya harus mengikuti "jadwal yang jelas dan disampaikan kepada mitra internasional utama guna mendapatkan dukungan global."
Raja Abdullah II menyerukan dukungan terhadap upaya reformasi Otoritas Palestina demi kepentingan rakyat Palestina, sekaligus menyoroti perlunya “menyusun visi yang jelas dan dapat diimplementasikan untuk tata kelola Gaza serta menghubungkannya dengan Tepi Barat guna memastikan tersedianya seluruh layanan dasar dan menjamin keamanan yang diperlukan.”
Monarki Yordania itu menyatakan keinginannya untuk menghentikan “eskalasi berbahaya di Tepi Barat, yang mengancam keberadaan warga Palestina di wilayah tersebut dan menyebabkan sebagian dari mereka terpaksa mengungsi, sehingga mengikis prospek stabilitas dan perdamaian di seluruh kawasan.”
Ia menegaskan perlunya “melawan pelanggaran terhadap situs-situs suci Islam dan Kristen di Yerusalem serta mempertahankan status quo historis dan hukum, terutama selama bulan suci Ramadan, guna mencegah upaya para ekstremis di pemerintahan Israel untuk memperburuk situasi.”
Ia kembali menegaskan bahwa “solusi dua negara adalah satu-satunya cara untuk mencapai perdamaian yang adil dan menyeluruh, yang menjamin berdirinya negara Palestina merdeka di tanah nasional Palestina, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya.”
Ia juga menekankan pentingnya mempertahankan gencatan senjata di Gaza dan memastikan pelaksanaan semua tahapannya.
Selain itu, ia kembali menyatakan penolakannya terhadap keputusan Israel yang menghalangi masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza, yang merupakan pelanggaran terhadap prinsip paling dasar dalam hukum internasional.
Ia juga menegaskan kembali posisi tegas Yordania dalam menolak “segala upaya pemindahan paksa serta tindakan apa pun yang bertujuan melikuidasi perjuangan Palestina dan merusak solusi dua negara.”
Lebih lanjut Raja Abdullah II menyerukan dimulainya "upaya regional dan internasional yang segera dan efektif untuk mengatasi tragedi, pembunuhan, teror, dan kehancuran akibat perang di Gaza," dengan fokus pada penyediaan tempat tinggal, perawatan medis, dan makanan bagi masyarakat Gaza.