Senin 10 Feb 2025 09:13 WIB

Kepada Media, Netanyahu Sesumbar: Ide Negara Palestina Sudah Berakhir

Netanyahu mendukung gagasan Trump untuk relokasi warga Gaza

Aktivis membakar kertas bergambar Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu saat aksi bela Palestina di Kota Tangerang, Banten, Jumat (6/12/2024). Aliansi Gerakan Solidaritas Masyarakat Tangerang bersama Jurnalis Peduli Palestina dalam aksi tersebut menuntut agar Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu ditangkap dan diadili oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC) atas kejahatan genosida yang dilakukan Israel terhadap Palestina.
Foto: ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin
Aktivis membakar kertas bergambar Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu saat aksi bela Palestina di Kota Tangerang, Banten, Jumat (6/12/2024). Aliansi Gerakan Solidaritas Masyarakat Tangerang bersama Jurnalis Peduli Palestina dalam aksi tersebut menuntut agar Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu ditangkap dan diadili oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC) atas kejahatan genosida yang dilakukan Israel terhadap Palestina.

REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV— Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan pada Ahad (10/2/2025) bahwa ide negara Palestina berakhir setelah 7 Oktober 2023, dan menuduh Mesir mencegah warga Palestina meninggalkan Jalur Gaza dan mengubahnya menjadi "penjara terbuka".

"Kami tidak akan membiarkan keberadaan sebuah organisasi yang berkomitmen untuk menghancurkan kami, dan ide negara Palestina berakhir setelah 7 Oktober," katanya dalam sebuah wawancara dengan saluran Fox News Amerika.

Baca Juga

"Perdamaian datang melalui kekuatan, dan ketika kita sangat kuat dan berdiri bersama, keberatan-keberatan akan berubah," tambahnya.

Dikutip dari Aljazeera, Senin (10/2/2025), dia juga menekankan bahwa perjanjian normalisasi dengan negara-negara Arab di wilayah tersebut, yang dikenal sebagai Perjanjian Abraham, "Kami mendapatkannya karena kami melewati Palestina," kata dia.

Dia mencatat bahwa ketika Israel menyelesaikan perubahan dan penghapusan apa yang dia gambarkan sebagai "poros Iran", hal itu akan membuka jalan bagi perjanjian tambahan dengan Arab Saudi dan negara-negara lain.

Dia menambahkan bahwa Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengatakan bahwa Israel terlalu kecil, dan dia benar, dan kita tidak bisa lebih kecil dari itu.

Rencana Trump

Dia menggambarkan rencana Trump untuk memindahkan warga Palestina dari Gaza sebagai "ide baru pertama dalam beberapa tahun terakhir," dan menyatakan bahwa pemindahan warga Palestina dari Jalur Gaza "tidak akan dipaksakan atau pembersihan etnis."

Dia mengklaim bahwa warga Palestina dapat kembali ke tanah mereka setelah "relokasi sementara" tetapi dengan syarat bahwa mereka meninggalkan apa yang dia gambarkan sebagai "terorisme".

"Jika negara-negara ini menganggap Jalur Gaza sebagai penjara terbuka, mengapa mereka ingin menahan mereka (warga Palestina) di dalam penjara?" katanya menanggapi negara-negara yang menolak rencana Trump. Dia menuduh Mesir mencegah warga Palestina meninggalkan Jalur Gaza, dengan mengatakan, "Mereka (Mesir) telah mengubah Gaza menjadi penjara terbuka dan inilah saatnya untuk memberi mereka kesempatan untuk pergi."

Mengenai implementasi tahap pertama perjanjian gencatan senjata Gaza, Netanyahu mengatakan, "Kami akan membebaskan 75 persen sandera yang masih hidup pada akhir minggu depan, dan kami akan mencapai kemenangan penuh atas Hamas."

Patut dicatat bahwa Netanyahu dan para menteri dalam pemerintahan sayap kanannya telah berulang kali menyerukan pemindahan warga Palestina dari Jalur Gaza dan Tepi Barat, serta mengakhiri solusi dua negara yang dianjurkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan beberapa negara Arab dan Barat.

Dalam sebuah wawancara dengan Channel 14 Israel pada hari Jumat, ia juga menyerukan pendirian negara Palestina di Arab Saudi, dengan mengatakan bahwa "Arab Saudi memiliki cukup lahan untuk menyediakan negara bagi Palestina."

Sejak 25 Januari, Presiden Trump juga telah mempromosikan sebuah rencana untuk memindahkan warga Palestina di Jalur Gaza ke negara-negara tetangga seperti Mesir dan Yordania, yang ditolak oleh kedua negara tersebut, yang juga didukung oleh negara-negara Arab lainnya dan organisasi-organisasi regional dan internasional.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement