Senin 06 Jan 2025 15:26 WIB

Jalan Sufi Fatimah al-Nishaburiya

Kilau harta tak sanggup memikiat Fatimah al-Nishaburiya.

Jalan Sufi Fatimah al-Nishaburiya. Foto: Tasawuf (ilustrasi)
Foto: Blogspot.com
Jalan Sufi Fatimah al-Nishaburiya. Foto: Tasawuf (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, KHURASAN -- Kilau harta tak bisa memikat hati Fatimah al-Nishaburiya. Perempuan asal Khurasan, Iran, itu melepaskan diri dari jerat materi dan lebih memilih untuk menyusuri jalan spiritual. Padahal, ia adalah putri dari seorang pangeran. Ia mendalami tasawuf dan di kemudian hari menjadi sosok sufi perempuan yang bereputasi tinggi.

Pasangan hidupnya juga seorang sufi ternama, Ahmad bin Khudruya. Ia menawarkan dirinya untuk dinikahi sang sufi tersebut. Utusannya mengirim pesan kepada Ahmad agar melamarnya menjadi istrinya. Ahmad semula tak memberikan respons. Lalu, Fatimah kembali mengirimkan utusannya yang kedua kali.

Baca Juga

Ahmad akhirnya tergerak menikahi Fatimah. Pernikahan mereka langgeng. Fatimah bersama suaminya di sepanjang hidupnya. Sementara itu, jalan sufi yang ditempuhnya mengantarkan Fatimah pada pertemuan mengesankan dengan sufi-sufi ternama. Ia bertemu Dzun-Nun al-Misri, guru dari Mesir dan Bayazid Bistami.

Mereka menjalin serangkaian diskusi bagaimana menjalin cinta dengan Tuhan. Omaima Abou-Bakr, profesor bahasa Inggris dan perbandingan literatur dari Cairo University, mengatakan, Dzun-Nun melontarkan pujian kepada Fatimah. Ia menyatakan bahwa Fatimah merupakan sosok sufi sejati, bahkan ia menyebut Fatimah sebagai gurunya.

Sadia Dehlvi dalam artikelnya, Mystic Women, menuliskan, saat seseorang bertanya kepada Dzun-Nun, siapa yang paling tinggi tingkatannya di antara para sufi, ia memberikan jawaban, Seorang perempuan di Makkah bernama Fatimah al-Nishaburiyah, yang sangat memahami Alquran.

Dengan cara yang sama, Bistami menyampaikan sanjungannya. Dalam seluruh hidupku, aku hanya mengenal satu-satunya perempuan yang layak dipuji, dia adalah Fatimah. Pujian ini didorong oleh kekaguman dan kekagetan Bistami setelah mengetahui ternyata Fatimah bukan hanya mengetahui stasiun-stasiun spiritual.

Fatimah juga telah mereguk pengalaman dari setiap stasiun-stasiun spiritual tersebut. Bistami menarik kesimpulan dari pengamatannya, sebelum Fatimah mengungkapkan soal pengetahuan dan pengalaman spiritualnya. Pemahamannya yang tinggi terhadap konsep tasawuf membuat Fatimah juga pernah mendebat sufi sekelas Dzun-Nun.

Suatu saat, Dzun-Nun pernah menolak sebuah pemberian yang dikirimkan Fatimah kepadanya. Ia menegaskan, tak bisa menerima hadiah yang diberikan seorang perempuan. Tak terima pemberiannya ditolak, dengan kata-kata bijaknya Fatimah membuat Dzun-Nun menanggung malu.

 

Ia meminta Dzun-Nun meninjau kembali konsep-konsep dasar tasawuf yang mungkin dia lupakan. Seorang sufi sejati tak melihat penyebab sekunder, tetapi selalu mengacu pada pemberi yang abadi, yaitu Tuhan, katanya lugas. Dalam persahabatan yang dijalinnya dengan Bistami, Fatimah kerap membicarakan soal jalan-jalan spiritual.

Persahabatan itu terjalin erat hingga pada suatu hari ikatannya agak memudar. Ini bermula dari pertanyaan Dzun-Nun hiasan inai pada sepasang tangan Fatimah. Menurut Annemarie Schimmel, dalam bukunya, Jiwaku adalah Wanita, sang sufi memperhatikan salah satu ciri kecantikan Fatimah berupa tahi lalat.

Sumber lain, jelas Schimmel, Dzun-Nun mempertanyakan soal sepasang tangannya yang berhiaskan inai. Lalu, Fatimah menukas atas pertanyaan Dzun-Nun. Menurut dia, selama ini diskusi-diskusi yang ia bangun dengan Dzun-Nun diyakini sebagai persahabatan dua jiwa yang bersama-sama menyusuri jalan keilahian.

Namun, setelah Dzun-Nun mempertanyakan hiasan pada tangannya, Fatimah menganggap poros telah bergeser dan kemudian ia telah menjadi objek. Dengan demikian, perhatian tak lagi sepenuhnya pada hal-hal Ilahiah, tetapi juga pada penampilan fisik. Menurut dia, hal yang berbau duniawi telah mencemari persahabatan spiritual itu.

Secara tegas, Fatimah mengatakan, pembicaraan spiritual yang bebas tak mungkin lagi bisa berlangsung. Bagi suaminya, Ahmad bin Khudruya, Fatimah juga akhirnya menjadi pembimbing spiritualnya. Saat Ahmad menampakkan kecemburuan karena Fatimah membangun persahabatan dengan dua sufi lainnya, ia menyampaikan klarifikasinya.

Kau karib dengan diri alamiahku, sedangkan Bayazid dengan jalan spiritualku, ujar Fatimah memberikan penjelasan kepada suaminya. Omaima mengatakan, Fatimah merupakan perempuan yang mempunyai keteguhan hati, independen, percaya diri, dan mempelajari tradisi-tradisi sufi secara mendalam.

Di sisi lain, Fatimah pun meninggalkan sebuah paradigma sendiri dalam kehidupan sufi. Sebuah pernikahan tak membuatnya abai dengan jalan spiritual. Ia menjalani perannya sebagai seorang istri dan  pejalan rohani dengan baik. Dua hal itu berjalan bersamaan dan tak saling menghapuskan satu sama lain.

Menurut Annemarie Schimmel, Fatimah adalah sosok sufi yang menonjol di antara perempuan sufi yang menikah. Menurut dia, keberadaan Fatimah menunjukkan bahwa para perempuan sufi tak menjalani hidup selibat atau tidak menikah. Ajal menjemput sufi perempuan ini pada 849 Masehi. n

sumber : Dok Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement